12:54

Sebatang rokok menyelip di antara sela jari telunjuk dan jari tengahku. Sudah beberapa hari ini hidup tak berjalan seperti biasa. Bukankah hidup tidak pernah benar-benar lancar dan mulus? Di dalam kepalaku terlalu banyak kejadian-kejadian yang terus berulang. Rasa-rasanya seperti televisi yang terus menyala sepanjang hari. Ia memutar adegan-adegan yang sama dan terus menerus diulangi. Begitu rasanya hari ini terjadi. Apa yang aku khawatirkan adalah hidupku sendiri yang akhir-akhir ini tak dapat kujelaskan lagi. Nyaris gila mungkin, sebab tak ada satu manusiapun yang mampu memahami apa yang aku alami kini. Tak ada satu manusiapun.

Kata ayah, hidup memang sedemikian keras. Bagi orang-orang yang lahir di ambang batas garis kemiskinan sepertiku, hidup tak pernah berjalan benar-benar mulus. Sedari kecil, aku selalu dituntut untuk mengubah garis nasib ekonomi keluargaku dan tentunya aku sendiri. Kakakku, si keras kepala itu, justru mampu menembus garis-garis nasib yang keras. Sekarang ia mampu bertahan dalam hidup yang entah berantah ini. Ia mampu mengejawantahkan pesan-pesan ayah mengenai keuntungan seseorang yang memiliki kepala yang begitu keras. Sebab di waktu-waktu tertentu, yang kau punya hanyalah kepalamu yang keras untuk kau benturkan pada realita-realita hidup yang sedemikian kacau balau. Hidup yang indah, itu hanya mimpi-mimpi atau cerita-cerita orang-orang yang sempat beruntung saja. Sisanya, hidup memang sekeras itu. Maka memiliki kepala yang lunak, apalagi dengan emosi-emosi di dalamnya, tentu bukan sebuah keuntungan tersendiri dalam perspektif ayah. Ingat, dunia ini tak pernah benar-benar baik dan tak pernah pula benar-benar jahat.

Aku menghisap kembali sebatang rokok yang ada di sela-sela jariku, berharap perasaan-perasaan yang menggelisahkan ini mampu pergi dariku sejenak. Sebab di waktu-waktu tertentu, mereka sangat suka mampir dan berbincang-bincang. Bajingan itu tak pernah benar-benar pergi dari kepalaku. Laten. Seperti korupsi di negeri ini yang tak pernah benar-benar usai. Persis seperti itu kegelisahan-kegelisahan yang tak pernah usai untuk bermain drama dalam kepalaku. Mungkin seperti sinetron di pukul tujuh malam, yang mampu menghabiskan ribuan episode tapi tentu dengan permasalahan yang itu-itu saja. Tak pernah ada hal yang benar-benar menjadi pembeda. Yang berbeda hanyalah tokoh-tokohnya, mungkin rumah produksinya sudah tidak mampu membayar orang-orang yang terkenal.

Kuhembuskan kembali nafas beserta nikotin yang menyertainya. Aku hanya terus berpikir mengenai kehidupanku kelak, yang masih misteri. Aku teringat akan kata-kata seorang sahabat yang mengatakan bahwa masa depan itu misteri, suci. Kita tak layak untuk membuka selubungnya sedikitpun. Sebab disitulah ‘seni’ dari kehidupan itu sendiri. Bagaimana kita terus menerus terombang-ambing dalam keadaan yang tak pasti. Tetapi di lain waktu, aku mulai mempertanyakan ini. Apakah orang-orang yang cukup beruntung dalam kondisi ekonomi tetap mengambang seperti kami? Ah tentunya. Hanya mereka mengambang dalam tingkat yang berbeda. Tidak perkara hidup dan mati tentunya. Sebab yang mereka pikirkan sudah barang tentu bukan perkara remeh temeh besok masih bisa makan atau tidak.

Entah mengapa aku sulit percaya kali ini. Rasa-rasanya hidupku ini yang paling menderita, padahal jika mau dibandingkan, banyak orang-orang yang justru jauh lebih sengsara daripada apa yang aku alami sekarang. Masih syukur bahwa makanan selalu ada. Ya, walaupun lidah kadang sedikit memberontak karena dalam beberapa hari makan makanan yang sama terus menerus. Lidah tak bisa dibohongi bahwa ia juga bosan dengan kondisi yang gitu-gitu aja. Aku melihat langit, awan yang bergerombol serta burung-burung gereja yang bersembunyi di balik pohon-pohon jambu yang sedang tidak berbuah. Burung-burung itu tampaknya tak khawatir dengan hidup mereka yang entah sampai kapan. Mereka tak bekerja namun masih bisa makan. Masih bisa mencuri-curi bulir-bulir padi dari hasil panen. Walau resikonya, ya mereka dijaring. Digoreng. Tapi begitu kan hidup? Persoalan siapa yang akan hidup lebih lama dan siapa yang hidup lebih singkat. Tak pernah diceritakan dan digambarkan seorang pengemis yang hidupnya lebih bahagia dari seorang yang tinggal di rumah gedongan. Ah tak tahu pasti aku. Sebab pengemis jaman sekarang juga menyimpan duit yang banyak di balik gerobak-gerobak rosok serta karung mereka. Dunia ini benar-benar sandiwara yang tertata rapi dan memainkan naskah yang chaotic.

Mei

Aku masih ingat letak persis rumah mungilnya. Ada jalan turun yang cukup curam, dilengkapi dengan deretan anak tangga hingga ke depan rumahnya. Rumahnya persis persembunyian rahasia dari film-film pahlawan super. Lengkap beserta bel listrik yang tak pernah dipakai karena kabelnya habis dimakan tikus.

Namanya Mei. Iya. Mei seperti bulan Mei. Seorang gadis keturunan Tionghoa. Papanya memang punya garis keturunan langsung dengan orang-orang di Tiongkok selatan. Parasnya manis, rambutnya hitam sebahu. Namun tatapannya kosong tak berbinar. Ia  salah satu siswi yang cukup cerdas di kelasnya. Namun seperti kebanyakan siswi cerdas lainnya, ia tak memiliki banyak teman. Yang jelas ia terbiasa menjadi Mei yang penyendiri. Orangtuanya yang memutuskan bercerai juga membuatnya terbiasa diam dan mengamati. Mungkin sudah puluhan atau ratusan kali Mei melihat papa dan mamanya berdebat, memaki dan memukuli apapun. Iya. Papa Mei selingkuh dengan wanita Jawa. Ia dulunya adalah asisten pribadi ayah Mei. Sedang ibunya akhirnya memutuskan untuk menikah lagi dengan duda anak tiga yang sama-sama keturunan Tionghoa.

Mei tak pernah suka dengan lelaki Tionghoa. Walau berkali-kali mamanya selalu mengatakan untuk mencari pasangan dari etnis yang sama, Mei tak pernah mendengarkan. Mantan pacarnya seluruhnya justru orang-orang jawa dengan status ekonomi yang tidak begitu mapan. Mungkin semangat ini juga diturunkan oleh Papa Mei yang akhirnya kepincut dengan wanita jawa. Lebih eksotis, begitu kata Mei setiap kali ditanya mengapa selalu jatuh cinta dengan pria jawa.

Mei juga pernah menjalin hubungan asmara dengan gurunya sendiri, yang juga lagi-lagi orang jawa. Mei merasa bahwa siapapun bisa menikah dengan siapapun. Syukur kalo bertahan hingga maut memisahkan. Tapi tak jarang juga orang harus menyalakan lampu sein dan berbelok arah. Itu hal yang biasa, ujar Mei sembari mengingat kembali bagaimana papa dan mamanya memutuskan untuk berpisah.

Mei juga pernah membaca kisah Clara yang diperkosa orang jawa, yang punya pacar jawa juga. Tapi Mei tidak mengindahkannya.

 “Ah itu kan dulu, sekarang orang jawa baik-baik kok. Ganteng lagi”

Ia juga pernah mendengarkan cerita salah satu mantan kekasihnya yang harus memutuskan hubungan lantaran Mei itu orang Tionghoa.

Alasannya sederhana dan sangat siti nurbaya. Orang Tionghoa itu pelit, suka memanfaatkan dan memeras. Kalau kamu masih sama Mei, kamu bakal dipermalukan. Karena biasanya mereka akan menaruhmu di kasta yang paling rendah. Begitu kata keluarga salah satu mantan kekasih Mei.

Sudah tak terbilang banyaknya Mei harus putus dengan para kekasihnya yang kebanyakan orang jawa itu. Alasannya lucu-lucu. Mulai dari orang cina yang tidak punya weton hingga orang jawa yang selalu licik dan licin. Entah itu dari keluarga para kekasih atau keluarganya sendiri yang selalu mendorong Mei untuk putus.

Mei juga sempat kesal dengan hubungan percintaan dirinya sendiri yang seperti pasar yang ramainya bukan main. Mengapa perkara hati yang begitu privasi harus disangkut pautkan dengan weton, status ekonomi, feng shui hingga ke shio. Bahkan sempet Mei mendengar alasan mengapa dirinya tidak boleh menikah dengan orang jawa, karena mereka tidak punya shio. Bagi Mei, shio weton cuma perkara ilmu kepribadian kuno yang digunakan untuk membaca manusia-manusia lengkap beserta perumitannya. Tidak lebih.

Ah, Mei. Begitulah gadis itu sering berpikir bahwa di dunia ini ada ruang imaji di mana kita bisa bercinta sepuas hati setiap hari tanpa caci maki. Mei hanya ingin bercinta, mengungkap rasa. Bukan ingin menerka apa yang ada di dalam kantong celana. Cinta ya cinta. Perasaan yang absurd dan susah dijelaskan. Entah sampai kapan Mei terus begitu, berada dalam ruang antara Jawa dan Tionghoa, berada dalam kebutuhan atau keinginan, dan berada dalam imaji dan realita.

Kamar 21:37

Kamar 21:37

 

Malam ini kamarku penuh dengan imajinasi yang berterbangan. Mereka seenaknya duduk di sebelahku dan mengajakku berbincang. Mengenai masa depan, mengenai masa lalu lengkap beserta kekecewaan yang selalu setia mengiringi. Aku sendiri tidak pernah paham bagaimana  mengusir mereka dalam benakku barang sejenak saja. Pernah suatu malam, mereka membangunkanku di tengah malam buta hanya untuk minta diseduhkan secangkir teh hangat. Sungguh, mereka ini tidak tahu diri dan mengganggu. Mereka tidak paham bahwa esok hari, aku masih harus bekerja dan mencari uang untuk kehidupanku sendiri. Mereka sih enak karena bisa makan tanpa harus bekerja, bisa hidup tanpa harus bernafas. Sedang diriku harus makan.

Malam ini, mereka berulah lagi. Sepulang bekerja, mereka merengek. Tanpa ampun, mereka memaksa diriku untuk membuka laptop dan menyetel lagu-lagu yang tidak pernah ingin aku dengarkan lagi. Alasannya sederhana. Karena dari lagu-lagu inilah kebahagiaanku pernah direnggut. Di dalam lagu itu, aku bisa bercerita kembali mengenai hidupku dan masa laluku tanpa harus aku mengeluarkan suara sedikitpun.

Imajinasi sialan! Tidak tahu diri dan waktu! Mereka biasanya hanya tertawa ketika aku mengumpat. Mereka Nampak puas dengan diriku yang selalu saja menuruti keinginan mereka walau tengah malam sekalipun. Kadang-kadang pula, mereka melompat-lompat di atas tempat tidurku. Mau bagaimana lagi, mereka ini memang makhluk paling abadi yang pernah diciptakan Tuhan. Mereka bergerak sesuka hati dan menghilang jika dibutuhkan. Mereka akan datang ketika siang bolong selepas jam makan siang. Diiringi desir angin yang flamboyan, mereka tiba-tiba saja hadir dan menjajah benakku.

Kadang mereka juga berbaik hati padaku dengan menceriterakan kisah-kisah mereka yang sungguh tidak masuk akal. Salah satunya adalah bagaimana bisa seorang jatuh cinta tanpa mengenal orangnya atau bagaimana cinta pada pandangan pertama memang benar-benar nyata. Aku selalu tertawa ketika mereka berceritera mengenai hal-hal konyol yang demikian.

Tapi di lain waktu, mereka sering memaksaku untuk melihat derai-derai air hujan yang meluncur mulus di kaca jendela. Nah, kalau situasi sudah begini, mereka akan mengulang kembali kisah-kisah cintaku yang lalu. Bagaimana aku dengan sukses kandas dalam setiap percintaan yang aku seriusi. Atau bagaimana aku selalu takut untuk mengungkapkan perasaan dan lebih memilih untuk berdiam diri dan diam-diam selalu menyelipkan rangkaian doa di antara bulir hujan yang jatuh.

Ah mereka ini sialan. Namun aku ingat beberapa minggu yang lalu mereka tidak pernah muncul sekalipun. Aku juga heran sekaligus penasaran dimana mereka bersembunyi minggu kemarin. Padahal, aku sedang membutuhkan mereka. Aku ingin mendengarkan ceritera mereka dari yang konyol hingga hal-hal yang romantis. Yah, walau mereka berisik, diam-diam aku menyukai mereka. Bahkan kadang menyimpan rindu ketika mereka hilang entah kemana.

Mereka sudah menemaniku sejak lama entah dari kapan. Aku juga lupa pertama kali bertemu mereka yang sungguh menyebalkan ini. Yang pasti, mereka selalu datang tiba-tiba dan tanpa pemberitahuan sebelumnya. Setelahnya, mereka juga akan hilang dan pergi tanpa permisi seenak hati. Begitulah kelakuan para imajinasi ini yang selalu membangunkan diriku di tengah malam buta dan datang secara menakjubkan selepas jam makan siang. Mereka jugalah yang menjadikanku kadang terlihat aneh di tengah-tengah kerumunan. Namun mereka juga pernah bercerita bahwa orang dewasa sudah jarang memperhatikan mereka. Hei! Umurku sudah dua puluh delapan tahun sekarang dan mereka masih saja berkeliaran dan muncul secara tiba-tiba. Kata mereka, diriku punya waktu yang cukup luas untuk meladeni mereka. HAH! Mereka pikir mereka tidak menyebalkan? Sangat menyebalkan! Orang dewasa mana yang mau bangun tengah malam dan mendengarkan ceritera tentang kelinci yang bersahabat dengan seekor babi? Atau orang dewasa mana yang selepas jam makan siang mau mendengarkan ceritera mengenai pohon beringin yang ternyata menderita penyakit panu? Lalu orang dewasa mana yang mau mendengarkan cerita tentang Katak yang tinggal di bawah warung lesehan? Yang satu ini, mereka ceritakan dalam perjalanan di tengah terik mentari menuju kantor.

Ya sudahlah. Toh, mereka menyenangkan walau menyebalkan. Hidupku jadi tidak biasa-biasa saja walau lebih sering nyengir-nyengir sendiri.

Pemuda yang Sudah Lewat Akil Baligh

Yang tak pernah dibayangkan oleh pemuda yang sudah lewat akil baligh itu adalah bagaimana dirinya dapat terperangkap di dalam pikirannya sendiri akhir-akhir ini. Seharusnya perkara-perkara yang terjadi di negeri ini tidak harus ia pikirkan hari demi hari. Namun perkara-perkara itu malah membuatnya semakin gelisah dan tidak dapat berpikir jernih. Sedari tadi, pemuda itu hanya membolak-balikkan halaman lembar folionya. Ia ingin menulis. Ia ingin menumpahkan segala pikiran yang sudah mem-bludak dan memohon untuk dituangkan ke dalam secarik kertas. Namun sayang, kegelisahan-kegelisahan yang ada sudah tidak mampu dituangkan ke dalam huruf, kata, bahkan menjadi sebuah paragraf. Kegelisahan itu malah muncul dalam bentuk senyatanya, berbentuk cuplikan-cuplikan ingatan yang terus dimainkan di dalam benaknya. Nampaknya, hari ini benaknya terlalu sadis. Ia memainkan ingatan-ingatan yang menggelisahkan. Haru namun penuh dengan pilu.

Kemarahannya pagi ini juga merupakan sebuah hasil investasi pengalaman-pengalaman yang sudah ia miliki sedari kecil. Televisi dan kebisingan sosial media jelas memantik  amarahnya yang langsung menghubungkannya dengan ingatan ketika ia masih kecil. Bagaimana ia bernafas dalam balutan kabut asap, bagaimana ia melihat ayahnya kehilangan hak kerja dan bagaimana ibunya mati-matian bekerja sebagai seorang guru SD swasta. Sedang di sekolahnya, teman-temannya masih saja pamer mainan keluaran terbaru. Hingga akhirnya, ia beberapa kali mencuri mainan dari seorang penjual di depan sekolah. Baginya, mainan seharusnya adalah hak semua anak dan sudah seharusnya juga semua anak berhak memiliki mainan yang sama dan kebahagiaan yang sama.

Satu-satunya ingatan yang membuat pemuda yang sudah lewat akil baligh ini tersenyum adalah bagaimana ia dan sahabatnya bermain hujan. Kampung halamannya memang tempat yang tidak begitu ramah dengan hujan. Hujan dengan begitu sombongnya tidak mau mampir dan bercengkerama di kampung halamannya. Maka tidak mengherankan apabila bermain hujan adalah sebuah kemewahan yang dimiliki oleh semua anak di kampung mereka. Ketika hujan mengguyur di kampung halaman, semua anak akan bergegas keluar. Para orangtua bahkan membekali mereka dengan sabun batangan. Maklum, air untuk mandi memang merupakan sebuah kebutuhan yang jarang sekali dipenuhi. Maka hujan adalah salah satu pihak yang diharapkan untuk memberikan bantuan terhadap mereka. Kemerdekaan di tengah guyuran hujan adalah sebuah momen di mana semua anak-anak sungguh sangat percaya bahwa kebahagiaan memang hidup dan nyata.

Momen lain adalah ketika anak-anak dari kampung si pemuda ini mengantri air dari salah satu kompleks perumahan pegawai perusahaan negeri itu. Salah satu rumah di kompleks tersebut dengan rela membagikan jatah airnya untuk para penduduk kampung yang ada di sekitar kompleks. Banyak anak-anak yang juga pada akhirnya berkumpul di sana. Mereka bermain sembari menunggu giliran mandi. Jangan kira mereka mandi di sebuah kamar mandi. Mereka bertelanjang ria dan diguyur di alam terbuka. Ini adalah suatu bentuk kemerdekaan yang hakiki!

Pemuda yang sudah lewat akil baligh ini masih saja gelisah. Di dalam kamar kosnya, ia juga masih saja berdiam diri di depan laptop yang sudah ia buka dan nyalakan. Kursor dari aplikasi menulis miliknya masih saja berkedip-kedip. Kegelisahannya terlalu kompleks dan rumit untuk diceritakan ke dalam sebuah tulisan. Banyak kenangan-kenangan yang tidak dapat dimasukkan ke dalam wadah cerita pendek tersebut.

Di meja tulisnya, foto ayah dan ibunya seperti mengawasi dirinya dan mengingatkan bahwa mereka ingin melihat si Pemuda yang sudah lewat akil baligh ini menjadi seorang intelektual publik. Peluru finansial mereka mulai habis dan si Pemuda mulai diteror oleh dengung-dengung kebutuhan ekonomi yang mulai meresahkan. Padahal, orangtua si Pemuda ingin melihat si Pemuda mampu melewati semua proses akademis. Namun pada kenyataannya, dunia akademis sudah secara perlahan membunuh si Pemuda itu dengan menyeretnya dan memisahkan antara realita dan retorika.

Sudah pukul sebelas siang. Si Pemuda pada akhirnya terlelap setelah lelah menonton semua cuplikan dan adegan masa kecilnya. Dengkurnya yang keras menandakan ia memang sedang diikat di dalam dunia mimpi.

Sebuah Cerita tentang Cerita

“A moment of love, a dream aloud, a kiss, a cry, our rights and our wrongs…”

Tanganku tak berhenti mengetukkan pena ke meja sedang alunan lagu dari Temper Trap mengalun pelan mengisi celah-celah kamarku yang entah mengapa hari ini begitu sunyi. Besok adalah dateline untuk mengumpulkan cerita pendek. Aku sudah duduk di kursi kamar sedari pukul enam sore hingga kini pukul sepuluh malam. Kursor ketik masih saja berkedip menanti kata-kata apa yang hendak aku ketik. Namun tidak ada satupun kata yang muncul di layar laptopku selama empat jam terakhir. Yang ada hanyalah aku yang mondar-mandir sedari tadi. Seolah kehabisan akal untuk menulis cerita selanjutnya. Sial! Mengapa aku tidak mendapatkan satu ide pun untuk menulis cerita?

Gelas kopi hanya kugenggam.Kopiku sudah sedari dua jam yang lalu habis. Namun masih saja layarku putih bersih. Satu titikpun tidak ada. Aku mencoba tidak tergoda untuk menghubungkan laptopku dengan dunia maya. Aku hanya takut larut dalam godaan digital. Aku sudah memprediksi dengan akurat bahwa aku akan kalah menghadapi godaan digital. Lalu aku putuskan saja untuk tidak mencoba menghubungkan laptop ini dengan dunia jejaring.

Pada akhirnya aku melihat langit-langit kamarku yang beberapa bagiannya sudah tidak memiliki warna yang sama. Ada beberapa sarang laba-laba di pojok langit-langit. Untung saja tidak ada laba-laba yang bersarang di sana. Buatku pribadi, laba-laba adalah hewan yang menjijikkan. Berbulu, berkaki enam, bermata delapan dengan bokong bulat dan berbulu. Jelas aku akan mendukung sepenuhnya untuk memasukkan laba-laba dalam kategori hewan paling menjijikkan di muka bumi. Apalagi setelah mengetahui bahwa betina laba-laba punya kecenderungan agresif terhadap yang jantan. Bahkan beberapa species tega memangsa si Jantan setelah berhubungan badan. Sungguh menjijikkan serta amoral!

Sial! Mengapa pikiranku justru mengarah pada laba-laba. Bukankah aku seharusnya berusaha membuat sebuah cerita, sebuah alur. Mengapa susah sekali untuk menuangkan keseharian untuk dibingkai dalam sebuah cerita pendek? Aku berdiri lalu menghadap kaca rias yang ada di kamarku. Sejenak melihat diriku sendiri di dalam kaca dengan penuh keheranan serta. Kembali lagi, imajinasiku membawaku ke dalam sebuah adegan di mana orang yang ada di dalam kaca menarik leherku serta memaksaku untuk masuk ke dalam kaca. Beberapa saat pun aku terkesiap. Menyadarkan diri dan meyakini diri sendiri bahwa diriku sedang tidak berada di dalam kaca.

Aku kembali ke laptopku. Pada akhirnya aku tergoda untuk membuka-buka folder lama. Di dalamnya berisi ribuan foto yang sudah diambil bertahun-tahun lalu. Aku scroll mouseku hingga menemukan sebuah foto seseorang. Aku diam beberapa menit. Aku menghela nafas dan pada akhirnya aku tahu cerita apa yang aku harus tuliskan.

Dengan tergesa-gesa sembari menjaga vibes dan mood yang masih membara, aku mulai mengetik di laptop.

Ia lahir dari sebuah percakapan yang tidak pernah disengaja sebelumnya. Tampak mengalir dan tidak dipaksakan sama sekali. Aku sendiri tidak pernah mengetahui bahwa detik ini aku akan bertemu dengannya. Seharusnya, aku meminta Tuhan untuk bertemu dengannya sebelum semuanya terlambat. Seandainya saja…”