Toko Buku Menghilang, Pola Pikir Melayang

Some sociologists believe that reading is becoming a minority, elite activity – the “province of a special ‘reading class’”, as the writer Caleb Crain put it in a 2007 New Yorker article – and that society is effectively returning to the situation before the advent of mass literacy.

Di atas adalah sekelumit mengenai bagaimana toko-toko buku mulai menghilang secara global. Iya. Kamu ga salah baca. Toko buku memang sedang sekarat di beberapa belahan bumi. Tidak semua, tapi gejala ini juga mulai dirasakan tidak hanya di Indonesia. Tetapi juga di beberapa negara. Sebenarnya kegelisahan ini juga pernah saya diskusikan dengan Engkoh Casiu dalam podcast Mari Mrene Marino (kayaknya episode ini belum tayang karena podkesnya bener-bener punk, dikerjakan semuanya sendiri hahaha). Hal ini muncul lagi ketika melihat sekilas bahwa toko buku Gunung Agung menutup seluruh outletnya di seluruh wilayah beberapa minggu lalu. Sebagai orang yang gemar mengunjungi toko buku, ini sebuah pertanda dari bencana yang akan datang. Sebuah era dimana orang mulai kurang membaca, lalu apa sih dampaknya?

Begini. Yang aku tahu, membaca membutuhkan proses berpikir yang lebih panjang daripada sekadar mendengarkan podcast, menonton tutorial ataupun menonton televisi. Proses yang menyertai dalam kegiatan membaca secara tidak langsung akan membuat seseorang untuk memiliki skill yang tidak dimiliki orang yang kurang suka membaca. Pernyataan saya ini mungkin terkesan sangat elitis atau meninggikan orang-orang yang suka membaca. Tetapi itulah yang terjadi. Apa yang terjadi akhir-akhir ini dengan banyaknya orang termakan hoax atau berita bohong memberikan sebuah indikasi bahwa memang kita sedang memasuki era darurat membaca. Orang-orang tidak lagi meluangkan waktu untuk mencerna kalimat, mencerna informasi secara utuh. Bahkan lebih bahayanya lagi, orang-orang terkadang menelan utuh-utuh apa yang diberikan lewat sosial media (tanpa menyadari bahwa sosial media pun punya kepentingan ekonomi dan politik mereka masing-masing).

Lalu bagaimana dengan Indonesia itu sendiri? Begini. Jauh sebelum kita bedah, sebenarnya Indonesia sedang terseok-seok untuk membangun pola pikirnya sendiri. Bagaimana tidak, jauh sebelum era dimana toko buku menghilang secara global, toko buku kita sendiri juga terseok-seok. Orang-orang mendatangi toko-toko buku hanya untuk mencari buku tutorial, buku tes cpns ataupun kumpulan soal-soal ujian nasional. Yang mana itu semua tergantikan dengan hadirnya internet. Minat baca Indonesia secara umum memang masih jauh dari standar yang mungkin dapat membangun kecerdasan kolektif. Dengan kondisi yang demikian, maka dapat dibayangkan pula jika memang penerbit-penerbit yang sedang meregang nyawa ini sedang bersiap menghadapi ajalnya masing-masing. Ya sekali lagi, ini bukan sebuah prophecy kenabian mengenai apa yang terjadi di kemudian hari. Ini hanyalah kekhawatiran saya pribadi mengenai apa yang terjadi akhir-akhir ini. Syukur apabila ini tidak terjadi. Tetapi ini hanya sebuah diagnosa awal mengenai penyakit apa yang kita derita sebagai sebuah bangsa akhir-akhir ini.

Dengan minimnya minat baca, kita semua sedang menghadapi generasi-generasi yang tumpul secara logika. Tentu ini akan menjadi makanan empuk bagi kepentingan apapun yang akan masuk. Sebagai contoh saja, ribut-ribut soal kanjuruhan yang sudah menewaskan sekitar 130-an orang pun sudah tidak terdengar gaungnya. Kalah dengan ribut-ribut soal video syur Rebecca Klopper. Pun dengan persoalan Mario Dandy dan kompleksitasnya. Semua dibuat seolah-olah tak berujung dan tidak berakhir. Kita dibuat kelelahan untuk mengikuti persoalan ini. Media-media besar pun nampak mulai menghitung-hitung kans yang mereka ambil untuk mengangkat isu-isu yang lebih vital. Mereka lebih doyan untuk meliput kasus-kasus yang sebenarnya hanya remah-remah roti.

Kembali ke persoalan membaca. Ketika masuk ke dalam kelas untuk mengisi sebuah kelas bahasa Inggris, saya terkejut dengan bagaimana orang-orang muda jaman sekarang mulai jarang meng-update info terkini. Pun mereka tampak jauh dari isu-isu terkini yang sedang marak. Ya saya tidak menyalahkan mereka sebab mereka mungkin sudah jenuh dengan pemberitaan yang itu-itu saja. Masih seputar mengenai bangsa ini dengan kompleksitasnya yang tidak kunjung usai. Tapi apa yang saya soroti justru bagaimana mereka mulai kehilangan untuk menganalisa atau memberikan sudut pandang terhadap setiap masalah. Mereka nampak kurang tajam untuk melihat masalah. Ya mungkin akupun juga demikian. Bukan berarti sekarang saya memiliki pisau analisa yang tajam. Tetapi masalah mulai terlihat ketika mereka harus memberikan komentar terhadap masalah yang terjadi di sekitar mereka. Mungkin mereka sibuk kuliah. Mungkin. Tetapi mungkin juga karena mereka mulai tidak memiliki kebiasaan untuk duduk membaca. Yang aku takutkan adalah imajinasi mereka mulai dibatasi oleh kemudahan-kemudahan yang disediakan di era ini. Sedang membaca, di jaman sekarang adalah sebuah kegiatan yang membutuhkan energi yang cukup besar. Ini serius. Padahal, kita sedang memasuki era pasca-kebenaran atau post-truth, dimana kebenaran bukanlah hal yang dicari tetapi selalu melihat pada motif yang ada di dalam kebenaran itu sendiri. Kebenaran bukan melulu mengenai semua orang setuju mengenai hal itu tetapi lebih kepada apa yang menjadi motivasi untuk mengucapkan kebenaran itu sendiri. Ya singkatnya kebenaran di era sekarang tidak melulu mengenai apa yang diucapkan itu benar, tetapi lebih kepada dampak yang diberikan dari pengungkapan kebenaran itu sendiri.

Jadi bisa kita bayangkan bagaimana kekacauan yang akan terjadi jika kita tidak memiliki pisau untuk membedah motivasi dari kebenaran itu sendiri? Sedang pisau-pisau itu kita dapatkan dari sebuah kegiatan yang dianggap menghabiskan energi besar yang disebut membaca. Itulah mengapa netizen kita seringkali disorot dengan sifat barbar-nya dengan selalu reaktif terhadap isu-isu yang ada. Menyerang sana-sini, menggigit siapapun yang mungkin justru bukan akar masalahnya. Kegagalan kita untuk selalu melihat di balik setiap masalah inilah yang saya khawatirkan lebih jauh. Ini persoalan yang mungkin harusnya juga dilihat oleh dinas pendidikan. Apalagi bagaimana bisa sebuah naskah akademik bisa digugat di peradilan dengan tuduhan pelecehan? Padahal, di dalam ranah akademik, ketersinggungan itu diminimalisir. Bahkan, kita diminta untuk menghilangkan bias subjektif peneliti setiap kali meneliti. Akan tetapi pada akhirnya kebenaran yang diusahakan objektif pun diterima dengan kebenaran subjektif (walau istilah ini masih kurang tepat sebab terkadang apa yang memicu masih di dalam ranah dugaan ataupun hypothesa).

Maka dari itu, menghilangnya toko-toko buku ini hanya sebuah symptom awal dari sebuah penyakit yang mungkin lebih fatal. Dengan menyadari bahwa kita sedang sakit, setidaknya ada sebuah usaha dari kita masing-masing untuk dapat sembuh atau setidaknya perlahan pulih dari kondisi yang sedang menyerang kita. Semoga.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s