Komunikasi Publik adalah Kunci

Tahun depan adalah tahun politik. 2024. Sebuah tahun yang cukup diwaspadai oleh banyak pihak sebab di tahun politik, kita harus waspada akan semua hal. Ya sebenarnya harusnya tidak hanya di tahun politik saja kita waspada. Harusnya. Sebab di tahun-tahun sebelumnya, kita sendiri sudah mengalami sendiri bagaimana pemerintah kita tergopoh-gopoh untuk mengurusi dampak yang cukup besar dari covid-19. Dalam peristiwa politik yang akan terjadi di tahun depan, kita akan terbentur, terbentur dan akhirnya terbentuk dengan situasi dan suasana yang akan terjadi di masa depan.

Saya menulis tulisan ini sebagai buah pikir dari lamunan saya tempo hari mengenai pendidikan Indonesia. Saya baru menyadari bahwa sebenarnya komunikasi publik yang dilakukan oleh siapapun (baik otoritas ataupun kalangan yang cukup terkenal di masyarakat) adalah kunci untuk mendidik masyarakat secara luas. Pendidikan tidak cukup hanya berada di ruang kelas tetapi juga harus didukung oleh bagaimana wacana-wacana di luar kelas yang sejalan dengan apa yang dibicarakan di dalam kelas. Kegelisahan saya ini muncul sebagai akibat dari cukup buruknya komunikasi publik yang ada di Indonesia saat ini. Ya tentu saja tulisan ini adalah tulisan amatir sebab saya tidak memiliki latar belakang ilmu komunikasi sama sekali. Jadi tulisan saya jelas dalam posisi yang subyektif dan terbuka untuk mendapat insight baru dari siapapun ataupun pakarnya.

Mari kita awali diskusi ini dengan bagaimana saya melihat komunikasi publik di Indonesia yang saya nilai cukup buruk dan cenderung tidak mendidik. Saya masih ingat bagaimana tokoh-tokoh masyarakat cukup buruk dalam menjawab beberapa wawancara ataupun permasalahan yang sedang dihadapi. Contoh saja, ada begitu banyak selebriti yang justru tidak memahami posisi mereka sebagai seorang yang dilihat oleh begitu banyak orang. Saya tidak hanya berbicara mengenai bagaimana membentuk citra, tetapi saya juga berbicara mengenai bagaimana mereka mampu bersikap ketika begitu banyak orang memberikan perhatian terhadap dirinya. Ini penting sebab beberapa kesempatan saya mendapati para selebriti ini justru melakukan hal yang tidak perlu. Sebagai contoh adalah bagaimana kasus Kesya Levronka yang begitu viral ketika dirinya menghadiri podcast/siniar di Volix. Kesya, seharusnya sudah memahami bahwa dirinya merupakan salah satu selebriti (celebritatum= lat. terkenal). Tetapi dalam sebuah tayangan yang pada akhirnya harus ditakedown itu, Kesya justru blunder dalam memposisikan dirinya. Saya rasa ada benarnya juga jika kaum-kaum selebritis ini harus belajar lebih dalam mengenai komunikasi publik yang harus dibangun di depan layar. Ada etika yang harus dibangun disana, tidak sekadar hanya ditaati sebab saya meyakini etika inilah yang akhirnya mendidik masyarakat secara luas.

Kasus lain adalah bagaimana beberapa pejabat publik menghadapi kasus-kasus ketika pandemi covid-19 kemarin. Ada kesan menyepelekan masalah dan akhirnya memang Indonesia dihajar habis oleh pandemi sebagai akibat komunikasi publik yang cukup buruk. Kasus lain adalah bagaimana beberapa anggota dewan seperti Arteria Dahlan dan Bambang Pacul yang tempo hari singgah beberapa waktu di FYP TikTok. Rasa-rasanya jarak antara rakyat dan wakilnya justru terlampau jauh dan malah tidak ada kesan mewakili sama sekali. Kasus lain adalah bagaimana perayaan ulangtahun di dalam ruangan rapat tatkala di luar ada demonstrasi besar di Jakarta. Masih ingat kan bagaimana ada kejutan kecil untuk ibu Puan Maharani di dalam ruang rapat tetapi di luar gerbang MPR banyak demonstran berteriak mengenai keberatan mereka tentang harga BBM yang naik.

Maka menurut saya ada gap yang terlampau jauh antara apa yang diajarkan di dalam ruang kelas dengan apa yang mereka terima sebagai sebuah informasi. Pengetahuan dibentuk melalui proses diseminasi wacana. Wacana, akan bergulir sejalan dengan proses komunikasi yang sedang diterapkan. Jadi menurut saya, komunikasi publik memang perlu dan sangat darurat untuk segera diperbaiki sebab dampak dari komunikasi publik yang buruk adalah meluasnya kebodohan dan rasa apatis yang ada di masyarakat. Ketika komunikasi publik tidak berjalan dengan baik, maka jangan heran jika masyarakat kita cenderung mencari jalan sendiri untuk mencari jawaban-jawaban atau informasi yang mereka butuhkan. Jangan heran juga ketika hoax dan berita burung tersebar luas dan masyarakat kita tidak memiliki cukup alat untuk menyaring semua informasi yang masuk. Apalagi kita sekarang sedang hidup di era informasi digital. Setiap hari, setiap menit kita dibanjiri dengan informasi yang melimpah. Sedang tugas kita adalah menyaring semua informasi yang masuk ke dalam diri kita dan menganalisanya. Tugas sekolah memang mempersiapkan daya kritis ini, tetapi akan menjadi percuma apabila komunikasi publik tidak kunjung dibenahi. Percuma juga mengasah nalar kritis di tengah paparan otoritas dan informasi yang terkesan hanya main-main. Maka dari itu tugas untuk mendidik masyarakat juga harusnya dibebani pada pembenahan komunikasi publik yang ada. Semakin baik, semakin masyarakat juga akan terdidik secara tidak langsung. Sebab tugas mendidik tidak hanya ada di dalam lembaga pendidikan formal belaka. Ini tugas bersama yang harus dijalani.

Tinggalkan komentar