Langit

Dua orang sedang duduk menikmati senja yang sebentar lagi mungkin tenggelam.  Menyeruput sesendok demi sesendok teh hangat. Mereka sedang berdiskusi hangat. 

“lalu apa kabar dirimu setelah dua minggu tidak berkabar?” 

“baik.” 

“selalu saja dengan gaya dingin yang sama ya. Tapi aku selalu mencoba Mencari dirimu yang sebenarnya dibalik teh mu yang selalu dingin dan tawar.” 

“aku mencintaimu.” 

“aku tahu itu. Perlu kau katakan berulang kali?” 

” entahlah. Tapi aku rasa ada beberapa hal dalam hati yang harus aku ungkapkan. Aku selalu terobsesi dengan wanita. Karena, kau tahu sendirilah, waktu kecil akupun tak pernah paham apa artinya mencintai dan dicintai. Tak terhitung jumlahnya wanita yang sudah menolak untuk aku cintai.” 

“lantas?” 

“lantas aku tak tahu lagi apa yang harus aku perbuat, nona. Yang jelas, dalam hidupku beberapa bulan yang lalu aku baik-baik saja. Sampa pada saatnya aku bertemu dengan dirimu dan akhirnya aku jatuh cinta padamu.” 

“mas, banyak hal yang perlu kau urus daripada kau memikirkan kata yang bernama cinta. Akupun jatuh hati padamu. Bukan karena kamu tampan. Tapi karena ada sesuatu yang tersembunyi di balik dirimu.” 

“minggu lalu aku barusan gila. Dalam dua puluh delapan jam, aku bisa mencoba menerka pertanyaan bodoh yang mungkin tak bisa aku jawab. Rindukah dirimu denganku?” 

“…” 

“nona, coba kau jelaskan. Bagaimana bisa kau membuatku sedemikian gila dan lupa diri? Aku belum pernah seperti ini sebelumnya.” 

“mas, aku sendiripun masih bergulat dengan diriku yang masih ingin ini dan itu la…” 

“aku tahu…” 

“mas, aku belum selesai bicara. Tolong.” 

“oh oke. Maaf…” 

“…” 

“pembicaraan macam apa ini? Tak pernah membuatku tenang.” 

Sang nonapun memeluk prianya dengan sunyi. Mereka semakin ribut dalam diskusi mereka di tengah hujan. 

Tinggalkan komentar