Istimewa

Yudas, Si Murid Yesus

Menurutku dalam drama penyaliban Yesus, Yudas adalah murid yang justru memegang kunci karya keselamatan. Setelah mengatakan hal ini, mungkin aku akan disomasi oleh gereja-gereja katolik.Tapi aku membayangkan demikian. Intinya adalah bagaimana tak ada keselamatan yang lahir tanpa pengkhianatan. Namun dalam imajinasiku, apa yang dilakukan oleh Yudas bukan mengkhianati tetapi lebih kepada terjebak pada imajinasi sendiri, sama seperti kita yang sering terjebak dengan imajinasi kita sendiri.

“Yudas menginginkan Yerusalem untuk bebas dari penjajahan Romawi dengan dipimpin oleh Yesus. Yudas bersemangat ketika Yesus memasuki Yerusalem. Yudas sangat berharap bahwa Yesus mampu menjadi penggerak orang-orang Yahudi untuk memberontak terhadap Romawi. Apa yang diinginkan Yudas mungkin pernah sejalan dengan apa yang dikatakan Yesus dengan “Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang” (Matius 10:34)” Nah mungkin Yudas sudah sepakat di dalam hatinya untuk membawa revolusi yang berdarah di tanah Yerusalem. Mungkin. Tetapi ternyata yang terjadi justru sebaliknya. Yesus malah tunduk dan diam setelah diarak masuk ke dalam Yerusalem. Apa yang terjadi setelahnya, kita semua mengetahuinya. Yesus wafat di kayu salib, Petrus mengkhianati Yesus dengan menyangkal bahwa dirinya bukan murid Yesus, dan Yudas mati gantung diri bersama bayangan revolusionernya”

Yudas, setahu saya, adalah salah seorang yang memegang peranan penting di dalam kelompok murid-murid Yesus. Ia menjadi pengatur keuangan sekaligus menjadi orang yang paling terpelajar di dalam kelompok. Ia tahu strategi politik, ia tahu bagaimana kelompok ini seharusnya berjalan. Maka dari itu, Yesus kemungkinan juga mengetahui bahwa kecenderungan orang-orang seperti Yudas ini adalah konflik dan perseteruan (yang tentunya juga diikuti oleh intrik-intrik politik di dalamnya). Mungkin Yudas ini ya mirip-mirip SJW. Yang berpengetahuan, kritis dan paham celah-celah politik. Seperti layaknya SJW, Yudas ini juga punya energi yang berlebih untuk memikirkan hal-hal yang mungkin sedikit lebih abstrak. Hal ini tentu tidak mampu dilakukan oleh Petrus, yang notabene ‘cuma’ nelayan dan tak mungkin diberikan hal-hal abstrak. Yang dipikirkan oleh Petrus jelas. Makan dan hari esok.

Apa jadinya jika yang melakukan pengkhianatan justru Petrus? Apakah drama sengsara Yesus dapat digambarkan secara rapi? Pertanyaannya adalah Petrus tidak memiliki kemampuan memanipulasi seperti Yudas sebab pendidikan Yudas jauh lebih tinggi ketimbang Petrus. Ini jelas. Yudas mengenal kaum Sanhedrin, yang merupakan elitis Yahudi. Justru alur pengkhianatan jauh lebih kasar jika Petrus yang menyerahkan Yesus. Ada kemungkinan Yesus akan dibunuh oleh Petrus sendiri. Ini imajinasiku sendiri. Di dalam kepalaku, Petrus adalah orang bebal yang tempramental. Dengan latar belakangnya yang ‘hanya’ seorang nelayan, semakin meyakinkan kita semua bahwa masalah hidupnya jauh lebih berat, tekanan hidupnya juga jauh lebih berat daripada Yudas. Sifat Petrus yang tempramental ini adalah sebuah hasil dari beratnya tekanan hidup Petrus. Dari sini, mungkin Yesus juga berpikir bahwa tidak mungkin Petrus akan bersedia untuk ‘menyerahkan’ dirinya dan melakukan naskah ‘penyelamatan’. Bagaimana mau menyusun ‘alur’ pengkhianatan, jika Petrus saja adalah kaum-kaum sumbu pendek. Ingat, ia adalah orang yang memotong telinga Maltus, pengawal yang menangkap Yesus di Taman Getsemani. Itu menunjukkan bahwa Petrus tidak punya kapabillitas untuk menyusun ‘naskah’ penyelamatan dengan cara berkhianat. Cara yang dimiliki oleh Petrus adalah Hack and Slash. Tebas. Selesai perkara. Ya mirip-mirip dengan ormas-ormas yang ada di negeri Wakanda. Temperamental dan tetap PD dengan ketersesatannya.

Maka kembali lagi, saya yakin Yudas memang tokoh kunci dari misi penyelamatan ini. Bayangkan jika Yudas tidak berkhianat? Kira-kira apakah Yesus akan tetap mencari orang lain untuk melaksanakan ‘takdir’-Nya? Cerita akan menjadi berbeda mungkin. Kaum-kaum intelektual seperti Yudas adalah kaum-kaum yang sebenarnya memegang kunci dan alur cerita. Tanpa mereka, kisah pengkhianatan tidak mungkin ada, dan orang mungkin tidak akan ‘selamat’ sebab tidak ada ‘pengkhianatan’ di sana. Maka dari itu saya sangat yakin posisi Yudas disini sangat sulit. Dalam kacamataku, ia adalah orang yang ‘rela berkorban’ untuk mendatangkan ‘keselamatan’. Maka menjadi wajar jika pada akhirnya Yudas menggantung dirinya sendiri setelah apa yang ia bayangkan mengenai perlawanan dan revolusi yang heroik gagal dengan wafatnya Yesus di kayu salib. Yudas berhenti untuk memahami gambaran besarnya sebab ia punya ideologi sendiri yang beranak pinak di dalam kepalanya. Ia memilih membunuh dirinya sendiri sebab beban yang ia pikul terlampau berat. Singkat kata, dalam kacamataku, ia gagal berfantasi. Ideologinya berhenti di kayu salib dan tidak mampu melampauinya.

Jadi titik inilah yang menjadi permenunganku atas apa yang menimpa Yudas Iskariot, yang sering dituduh berkhianat. Aku masih mempercayai bahwa ia tak berkhianat. Ia hanya gagal berfantasi dan menembus imajinasi di balik kayu salib. Pertanyaan di akhir tulisan ini mungkin mampu menggugah kita semua. Jangan-jangan kita ini Yudas, yang hanya berhenti berimajinasi di kayu salib dan tak mampu melampaui apa yang ada di baliknya?

Toko Buku Menghilang, Pola Pikir Melayang

Some sociologists believe that reading is becoming a minority, elite activity – the “province of a special ‘reading class’”, as the writer Caleb Crain put it in a 2007 New Yorker article – and that society is effectively returning to the situation before the advent of mass literacy.

Di atas adalah sekelumit mengenai bagaimana toko-toko buku mulai menghilang secara global. Iya. Kamu ga salah baca. Toko buku memang sedang sekarat di beberapa belahan bumi. Tidak semua, tapi gejala ini juga mulai dirasakan tidak hanya di Indonesia. Tetapi juga di beberapa negara. Sebenarnya kegelisahan ini juga pernah saya diskusikan dengan Engkoh Casiu dalam podcast Mari Mrene Marino (kayaknya episode ini belum tayang karena podkesnya bener-bener punk, dikerjakan semuanya sendiri hahaha). Hal ini muncul lagi ketika melihat sekilas bahwa toko buku Gunung Agung menutup seluruh outletnya di seluruh wilayah beberapa minggu lalu. Sebagai orang yang gemar mengunjungi toko buku, ini sebuah pertanda dari bencana yang akan datang. Sebuah era dimana orang mulai kurang membaca, lalu apa sih dampaknya?

Begini. Yang aku tahu, membaca membutuhkan proses berpikir yang lebih panjang daripada sekadar mendengarkan podcast, menonton tutorial ataupun menonton televisi. Proses yang menyertai dalam kegiatan membaca secara tidak langsung akan membuat seseorang untuk memiliki skill yang tidak dimiliki orang yang kurang suka membaca. Pernyataan saya ini mungkin terkesan sangat elitis atau meninggikan orang-orang yang suka membaca. Tetapi itulah yang terjadi. Apa yang terjadi akhir-akhir ini dengan banyaknya orang termakan hoax atau berita bohong memberikan sebuah indikasi bahwa memang kita sedang memasuki era darurat membaca. Orang-orang tidak lagi meluangkan waktu untuk mencerna kalimat, mencerna informasi secara utuh. Bahkan lebih bahayanya lagi, orang-orang terkadang menelan utuh-utuh apa yang diberikan lewat sosial media (tanpa menyadari bahwa sosial media pun punya kepentingan ekonomi dan politik mereka masing-masing).

Lalu bagaimana dengan Indonesia itu sendiri? Begini. Jauh sebelum kita bedah, sebenarnya Indonesia sedang terseok-seok untuk membangun pola pikirnya sendiri. Bagaimana tidak, jauh sebelum era dimana toko buku menghilang secara global, toko buku kita sendiri juga terseok-seok. Orang-orang mendatangi toko-toko buku hanya untuk mencari buku tutorial, buku tes cpns ataupun kumpulan soal-soal ujian nasional. Yang mana itu semua tergantikan dengan hadirnya internet. Minat baca Indonesia secara umum memang masih jauh dari standar yang mungkin dapat membangun kecerdasan kolektif. Dengan kondisi yang demikian, maka dapat dibayangkan pula jika memang penerbit-penerbit yang sedang meregang nyawa ini sedang bersiap menghadapi ajalnya masing-masing. Ya sekali lagi, ini bukan sebuah prophecy kenabian mengenai apa yang terjadi di kemudian hari. Ini hanyalah kekhawatiran saya pribadi mengenai apa yang terjadi akhir-akhir ini. Syukur apabila ini tidak terjadi. Tetapi ini hanya sebuah diagnosa awal mengenai penyakit apa yang kita derita sebagai sebuah bangsa akhir-akhir ini.

Dengan minimnya minat baca, kita semua sedang menghadapi generasi-generasi yang tumpul secara logika. Tentu ini akan menjadi makanan empuk bagi kepentingan apapun yang akan masuk. Sebagai contoh saja, ribut-ribut soal kanjuruhan yang sudah menewaskan sekitar 130-an orang pun sudah tidak terdengar gaungnya. Kalah dengan ribut-ribut soal video syur Rebecca Klopper. Pun dengan persoalan Mario Dandy dan kompleksitasnya. Semua dibuat seolah-olah tak berujung dan tidak berakhir. Kita dibuat kelelahan untuk mengikuti persoalan ini. Media-media besar pun nampak mulai menghitung-hitung kans yang mereka ambil untuk mengangkat isu-isu yang lebih vital. Mereka lebih doyan untuk meliput kasus-kasus yang sebenarnya hanya remah-remah roti.

Kembali ke persoalan membaca. Ketika masuk ke dalam kelas untuk mengisi sebuah kelas bahasa Inggris, saya terkejut dengan bagaimana orang-orang muda jaman sekarang mulai jarang meng-update info terkini. Pun mereka tampak jauh dari isu-isu terkini yang sedang marak. Ya saya tidak menyalahkan mereka sebab mereka mungkin sudah jenuh dengan pemberitaan yang itu-itu saja. Masih seputar mengenai bangsa ini dengan kompleksitasnya yang tidak kunjung usai. Tapi apa yang saya soroti justru bagaimana mereka mulai kehilangan untuk menganalisa atau memberikan sudut pandang terhadap setiap masalah. Mereka nampak kurang tajam untuk melihat masalah. Ya mungkin akupun juga demikian. Bukan berarti sekarang saya memiliki pisau analisa yang tajam. Tetapi masalah mulai terlihat ketika mereka harus memberikan komentar terhadap masalah yang terjadi di sekitar mereka. Mungkin mereka sibuk kuliah. Mungkin. Tetapi mungkin juga karena mereka mulai tidak memiliki kebiasaan untuk duduk membaca. Yang aku takutkan adalah imajinasi mereka mulai dibatasi oleh kemudahan-kemudahan yang disediakan di era ini. Sedang membaca, di jaman sekarang adalah sebuah kegiatan yang membutuhkan energi yang cukup besar. Ini serius. Padahal, kita sedang memasuki era pasca-kebenaran atau post-truth, dimana kebenaran bukanlah hal yang dicari tetapi selalu melihat pada motif yang ada di dalam kebenaran itu sendiri. Kebenaran bukan melulu mengenai semua orang setuju mengenai hal itu tetapi lebih kepada apa yang menjadi motivasi untuk mengucapkan kebenaran itu sendiri. Ya singkatnya kebenaran di era sekarang tidak melulu mengenai apa yang diucapkan itu benar, tetapi lebih kepada dampak yang diberikan dari pengungkapan kebenaran itu sendiri.

Jadi bisa kita bayangkan bagaimana kekacauan yang akan terjadi jika kita tidak memiliki pisau untuk membedah motivasi dari kebenaran itu sendiri? Sedang pisau-pisau itu kita dapatkan dari sebuah kegiatan yang dianggap menghabiskan energi besar yang disebut membaca. Itulah mengapa netizen kita seringkali disorot dengan sifat barbar-nya dengan selalu reaktif terhadap isu-isu yang ada. Menyerang sana-sini, menggigit siapapun yang mungkin justru bukan akar masalahnya. Kegagalan kita untuk selalu melihat di balik setiap masalah inilah yang saya khawatirkan lebih jauh. Ini persoalan yang mungkin harusnya juga dilihat oleh dinas pendidikan. Apalagi bagaimana bisa sebuah naskah akademik bisa digugat di peradilan dengan tuduhan pelecehan? Padahal, di dalam ranah akademik, ketersinggungan itu diminimalisir. Bahkan, kita diminta untuk menghilangkan bias subjektif peneliti setiap kali meneliti. Akan tetapi pada akhirnya kebenaran yang diusahakan objektif pun diterima dengan kebenaran subjektif (walau istilah ini masih kurang tepat sebab terkadang apa yang memicu masih di dalam ranah dugaan ataupun hypothesa).

Maka dari itu, menghilangnya toko-toko buku ini hanya sebuah symptom awal dari sebuah penyakit yang mungkin lebih fatal. Dengan menyadari bahwa kita sedang sakit, setidaknya ada sebuah usaha dari kita masing-masing untuk dapat sembuh atau setidaknya perlahan pulih dari kondisi yang sedang menyerang kita. Semoga.

Menumpahkan Keresahan

Sudah agak lama saya mempertanyakan diri saya sendiri yang sering kali mendaku sebagai seorang pengajar (atau pendidik?). Pertanyaan yang paling mendasar adalah apa yang saya bisa lakukan di tengah kepungan industri pendidikan yang kian merajalela? Sedang orang-orang seperti saya ini, yang sok-sokan idealis tapi kelaparan juga, agak kesusahan untuk masuk ke dalam sistem pendidikan yang seperti mesin. Iya. Mesin. Sebab ketika masuk ke dalam kelas, murid-murid sudah kelelahan dengan tugas-tugas yang menguras habis energi kehidupan mereka. Di sisi lain, saya pun juga sudah kelelahan karena dalam sehari juga bisa meng-handle beberapa kelas dengan kondisi yang berbeda-beda. Cukup beruntung jika yang saya temui adalah orang-orang yang memang punya energi untuk belajar. Hal yang sebaliknya justru lebih sering saya jumpai. Kelelahan di kelas, sedang saya sendiri pun bukan manusia yang punya energi tak terbatas untuk mendongkrak minat belajar siswa. Tugas pengajar (nampaknya) harus bisa menjadi sosok menggelegar nan inspiratif yang bisa mendorong siapapun untuk tetap berenergi. Ya mirip dikit-dikit sama tugas kenabian lah ya. Harus mampu untuk memberikan vibes yang selalu positif, moralistik, sekaligus akademis. Bagiku, ini sangat tidak masuk akal.

Masalah semakin berkembang tatkala saya yang sering sekali melupakan hal-hal administratif ini seringkali ditanyakan perihal teknis. Entah itu Rencana Pembelajarannya, silabus, ataupun presensi. Saya sendiri tetap berpegang teguh bahwa setiap orang berhak untuk tidak masuk kelas (kecuali pengajarnya) sebab manusia-manusia jaman sekarang sudah habis dimakan media sosial, game online, ataupun isu-isu banal. Hal-hal administratif ini penting. Namun sayangnya justru sekarang lebih penting daripada melihat kondisi dari orang-orang yang belajar ini. Kadang-kadang saya merasa iba dengan mahasiswa-mahasiwa yang masuk ke kelas dalam kondisi kuyu setelah diterjang badai ujian, kepanitiaan ataupun juga hal-hal di luar kelas lainnya. Pernah suatu kali saya dengan sadar dan sengaja tidak membahas materi kuliah pada hari itu. Saya justru mengajak mereka untuk bercerita mengenai kehidupan mereka (yang ternyata cukup kompleks). Ada yang harus bekerja sambil kuliah, ada juga yang kesulitan masuk dalam ritme kampus, sampai juga ada yang kesulitan untuk bersosialisasi. Katanya, Non Scholae Sed Vitae Discimus. Kehidupan macam apa yang ingin disiapkan dengan menghabisi mereka hingga babak belur tanpa diberi kesempatan untuk menarik nafas? Apakah kehidupan seperti ini yang selama ini kita bangun? Ya mungkin kasus yang saya temui tidak bisa digeneralisir. Tetapi satu kasus, dua kasus saya rasa cukup untuk mengajak kita semua melihat kembali bagaimana pendidikan ini justru menjadikan mereka mesin-mesin organik yang tak pernah merasakan kehidupan itu sendiri.

Seringkali dalam perjalanan pulang setelah mengajar, saya selalu bertanya pada diri sendiri. Apakah saya cukup mampu dan layak untuk tetap bertahan dalam industri pendidikan yang seperti ini? Sebab ada terlalu banyak gagasan yang tidak mampu saya eksekusi karena saya merasa tidak cukup ruang bagi saya sendiri. Kerap kali yang dijadikan tonggak untuk melihat kelas itu berhasil atau tidak ya dari nilai. Bukan dari perkembangan-perkembangan yang terjadi dan dinamika yang ada di dalam kelas. Nilai akhir merupakan tujuan yang seolah-olah menjadi satu-satunya yang harus dicapai. Padahal di dalam kelas ada manusia-manusia dengan cerita dan pribadi yang menarik. Sering saya malu karena saya tidak mampu menghafal bahkan mengenali orang-orang yang pernah berada di dalam satu kelas. Rasa-rasanya waktu terlalu cepat dan singkat untuk mengenal mereka lebih dalam. Saya sering menuntut diri saya sendiri untuk mengenali orang-orang yang ada di dalam kelas sebab saya percaya mereka lebih dari sekadar nomor induk. Mereka lebih dari sekadar huruf-huruf yang terpampang di dalam laporan nilai. Ada jiwa manusia di setiap nomor induk yang ada di daftar presensi. Dan saya yakin pula bahwa ada begitu banyak cerita di balik nama-nama yang ada di daftar presensi.

Saya tak punya otoritas. Sebab sebagai pengajar di tengah sistem industri pendidikan, yang saya bisa lakukan adalah bergerak sendiri. Ya kira-kira mirip sama buruhlah. Yang diharapkan adalah produk mahasiswa/i yang berkualitas dan berdaya saing untuk dunia kerja. Sekali lagi. Dunia kerja. Bukan kehidupannya (vitae). Syukur jika memang diberikan otoritas penuh untuk mengotak-atik materi ataupun sempat mengobrol dengan beberapa orang di dalam kelas. Tapi akhir-akhir ini justru lebih banyak perasaan sesak karena melihat jiwa-jiwa yang sudah habis api kehidupannya. Nampaknya juga tidak ada kebijakan yang cukup serius untuk menangani dampak dari absennya pertemuan tatap muka selama 2 tahun kemarin. Karena karakter generasi pandemi tentu jauh berbeda dengan generasi yang Ya semoga saja mereka tidak kehabisan secercah cahaya harapan di dalam diri mereka. Jauh di dalam diri, saya selalu mengatakan bahwa kelasku adalah tempat mereka untuk berteduh sejenak dari tugas-tugas yang cukup kekar dan tak ada habisnya.

Kemiskinan, Nrimo ing Pandum, dan Yogyakarta

Provinsi DI Yogyakarta menjadi provinsi termiskin di pulau jawa. Itu menurut data dari BPS yang menghitung mengenai konsumsi kalori di provinsi yang istimewa itu. Pernyataan ini lalu membuatku bertanya pada diri sendiri mengenai bagaimana selama ini sebenarnya permasalahan ekonomi di DI Yogyakarta memang menjadi salah satu problematika tersendiri selama beberapa tahun ini. UMR yang sering mendapat sorotan karena di tengah gelombang wisatawan yang tinggi, Yogyakarta tetap menjaga marwah “sederhana” dengan menaikkan sedikit demi sedikit UMR-nya. Tentu kita bisa saja memberikan hipotesa-hipotesa mengenai mengapa UMR di Yogyakarta itu sangat “layak”. Tapi berawal dari berita ini, pikiran saya justru menuju pada hal lain yaitu mengenai bagaimana diskursus kemiskinan ini selalu saja ditabrakkan dengan konsep “Nrimo Ing Pandum“. Iya. Wacana mengenai “Nrimo ing pandum” sendiri berhembus kencang di sosial media Twitter tatkala persoalan ekonomi ini mencuat naik di sosial media. Tidak, saya tidak terburu-buru untuk menyalahkan mengenai narasi “Nrimo ing pandum” ini sendiri. Saya justru penasaran apakah narasi “Nrimo ing pandum” (NIP) ini menjadi ideologi yang kuat hingga Yogyakarta ya tidak apa-apa untuk dilihat sebagai masyarakat yang mlarat, miskin, dan tidak berdaya?

Apa yang menjadi pertanyaan saya mungkin akan ditentang oleh banyak orang. Tapi daripada anda terburu-buru menyalahkan saya (dan tentu berdasar dengan apa yang saya tulis), apa salahnya untuk menyelidiki lebih jauh mengenai bagaimana narasi NIP ini menjadi alat selubung yang cukup kuat untuk menutupi masalah ekonomi yang sebenarnya tidak terselesaikan di Yogyakarta? Saya yakin, masalah ekonomi ini akan berdampak cukup besar dalam berkembangnya kriminalitas dan masalah-masalah sosial lainnya yang akan muncul di Yogyakarta.

Sebagai awal, saya ingin mendalami mengenai apa sih yang dimaksud dengan “Nrimo ing pandum“? Sejauh yang saya pahami, “Nrimo ing pandum” berarti menerima (Nrimo) apa yang sudah diberikan (pandum). Nah disini sebenarnya bisa dibedah secara struktur kalimatnya sendiri. Orang yang mengatakan ini tentu menjadi subjek yang akan menerima sesuatu hal. Masalahnya adalah dari siapa dia akan menerima ini? Subjek yang memberikan inilah yang mungkin menjadi jebakan batman. Ini karena tidak pernah dipahami secara utuh mengenai siapa yang memberikan. Jika ini dilihat sebagai kalimat yang memberikan makna spiritualitas, tentu saja yang memberikan adalah Gusti atau Tuhan. Jadi jika kalimat Nrimo ing pandum ini diletakkan dalam dimensi spiritualitas, ya saya pikir menjadi kalimat yang sesuai dengan maknanya. Tuhan sebagai Yang Mahakuasa, saya pikir akan memberikan hal yang menjadi kebutuhan manusia. Mengenai definisi kebutuhan itu sendiri, mungkin masih bisa diperdebatkan lebih jauh, tetapi jika melihat proses hidup manusia, mungkin kita juga perlu menyelipkan mengenai bagaimana manusia itu sendiri harus berusaha juga untuk mendapatkan rejeki dari Tuhan. Pepatah Ora obah ora mamah (Obah=bergerak, mamah=makan) akan menjadi pernyataan yang sesuai untuk mendahului kalimat Nrimo ing pandum. Sebab manusia perlu berusaha juga untuk mendapatkan rejekinya sebelum ia mendapatkan pandum yang sesuai dengan kebutuhannya.

Namun persoalan akan timbul jika kalimat Nrimo ing pandum ini bergeser dimensinya. Apalagi digeser dan masuk ke ranah dimensi politik dan ekonomi. Kerap kali Nrimo ing pandum menjadi mantra yang cukup kuat untuk memaksakan yang memberi terhadap pihak-pihak yang terberi, walau pandum yang diberikan tidak sesuai dengan porsinya. Tapi mau tidak mau, suka tidak suka, dimensi spiritualitas ini memang menjadi langkah yang cukup ‘seksi’ untuk membutakan pihak yang terberi. Orang-orang terpaksa dan dipaksa untuk menerima keadaan tanpa mereka diberikan ruang yang cukup leluasa untuk obah. Dalam pemahaman saya, orang akan mampu memahami Nrimo ing pandum apabila ia sudah diberikan ruang yang cukup untuk bergerak dengan cukup leluasa. Memang, narasi NIP ini dalam falsafah jawa menjadi ‘rem’ sosial supaya tidak terjadi kekacauan karena orang akan berlomba-lomba mencari ruang gerak yang leluasa. Ruang-ruang kontestasi inilah yang harus dipertanyakan lebih jauh sebelum menyatakan bahwa hidup manusia harus juga bisa Nrimo ing pandum. Dasar logika saya sederhana. Tuhan yang Mahakasih tidak mungkin hanya memberi sekadar penderitaan. Tentunya ia juga akan memberikan kebahagiaan. Ya walaupun kebahagiaan dan kesedihan itu juga bisa menjadi satu koin dengan dua sisi. Cuma persoalannya adalah bagaimana melihatnya. Tetapi cara melihat pandum ini kupikir ya harusnya biar menjadi proses dialektika dalam individu-individunya. Tidak usah dipaksakan bahwa gaji yang kecil adalah pandum yang harus diterima. Jika memang memaksakan sudut pandang seperti ini, nampaknya ada banyak lompatan-lompatan logika yang sengaja dilompati untuk mendapatkan keuntungan tersendiri. Saya kok yakin ya bahwa rasa syukur untuk menerima pandum tetap berasal dari manusianya sendiri. Tidak bisa kita memaksa orang untuk bersyukur, karena terkadang, kita terburu-buru dengan melompati narasi apa yang membuat seseorang tidak cukup bersyukur. Kembali lagi mengenai ruang gerak yang diberikan, apakah ruang gerak (bisa juga diartikan sebagai kebebasan finansial, kebebasan pribadi dan ruang-ruang gerak di struktur sosial masyarakat) ini sudah diberikan terlebih dahulu sebelum memaksakan orang untuk menjadi manusia yang nrimo ing pandum?

Jika kita hubungkan narasi Nrimo ing pandum dengan bagaimana kondisi ekonomi di Yogyakarta, maka ada fakta-fakta yang mungkin mengarah pada pernyataan bahwa orang-orang di Yogyakarta memang dipaksa dan terpaksa menerima keadaan yang semestinya mampu diubah. Tentu ini meletakkan narasi Nrimo ing pandum pada irisan spiritualitas dan sosial ekonomi. Kebijakan-kebijakan dari pemerintah sendiri harus membuka ruang gerak yang leluasa (baik secara sosial maupun ekonomi) sebelum mendiktekan mengenai falsafah Nrimo ing pandum. Jika memang kita menganggap bahwa pemegang kebijakan ini adalah representasi dari Gusti itu sendiri, seharusnya memang mampu dibukakan ruang-ruang untuk kemungkinan mobilitas sosial dan ekonomi. Ya apa ga malu mau mensejajarkan dengan Tuhan jika yang direpresentasikan adalah yang Mahakuasa dan Mahakasih, apalagi yang diberikan hanya “kesederhanaan”? Kok rasa-rasanya kurang pas untuk masih mau dilihat sebagai representasi Yang Mahakuasa. Apalagi berani untuk memaksa orang menjadi orang yang Nrimo ing pandum?

Seharusnya Memilih Teman Itu Tidak Apa-Apa

Menjadi dewasa juga memiliki konsekuensi yang tak terduga dan mungkin tidak aku kira sebelumnya. Salah satunya adalah lingkaran pertemanan yang semakin kecil seiring berjalannya waktu. Kita secara tidak sadar pada akhirnya akan dipertemukan dengan orang-orang yang mungkin se-frekuensi dengan kita. Apalagi ketika kita semakin berumur, kita semakin enggan untuk menginvasi (lebay amat) orang-orang baru untuk dimasukkan ke dalam hidup kita (cuma asumsiku sih, soalnya aku mengalami hal ini). Jadi semakin kita dewasa, semakin menyempit circle pertemanan kita.

Situasi semacam ini mengingatkan saya pada perkataan orangtua ketika masih kecil. Mereka selalu mengingatkan untuk tidak memilih teman. Ya pada akhirnya ada situasi dimana tidak semua orang ‘layak’ kita masukkan dalam kategori teman. Suka atau tidak, kita pada akhirnya akan menyaring lingkaran pertemanan kita. Kita memilih untuk mundur pada lingkaran pertemanan tertentu entah apapun alasannya. Mungkin juga karena alasan yang sangat praktis seperti bahan pembicaraan yang sudah tidak dapat dinikmati. Ini masalahnya. Aku pernah mengalami rasa tidak enak karena keluar dari lingkaran pertemanan tertentu. Dicap sombong, dicap tidak bisa fleksibel dan kaku. Pada awalnya sih begitu hingga pada akhirnya aku menemukan satu titik dimana sebenarnya aku berhak menentukan siapapun untuk menjadi teman, sahabat, ataupun hanya sekadar kenalan saja.

Mengapa pada akhirnya aku membuat level pada lingkaran pertemanan? Ya tentu saja karena pada akhirnya aku menemukan keadaan dimana tidak semua orang memang mau berteman denganku dan tidak semua orang pula ‘layak’ untuk diberi waktu, perhatian dan tenaga. Mau tidak mau, suka tidak suka, ada beberapa orang yang mungkin pada akhirnya kita anggap ‘kenalan’ saja karena memang ada kejadian tertentu yang menyebabkan ‘turunnya derajat lingkaran pertemanan’. Aneh ya istilahku, tapi ya begitulah adanya. Boleh kok kita menurunkan ‘level’ pertemanan. Sah-sah saja menurutku sebab hubungan interpersonal itu bertumbuh dan dinamis. Jika itu tidak dipupuk dengan baik, ya wajar jika pada akhirnya hanya berakhir pada level ‘kenal’ saja.

Fakta lain yang lebih menyakitkan untuk diterima adalah menyempitnya lingkar pertemanan seiring bertambahnya usia. Iya. Semakin kita dewasa, lingkar pertemanan kita mengecil. Kita mungkin pada akhirnya hanya memiliki beberapa gelintir orang untuk dicurhati namun mereka-mereka inilah yang pada akhirnya mampu menjaga kewarasan mental kita setelah kehidupan memberikan kita cobaan yang cukup membajingkan. Awalnya mungkin aku juga sakit hati ketika secara natural ‘dikeluarkan’ di lingkaran pertemanan tertentu. Tapi pada akhirnya, aku harus menerima sebab kehidupan yang begitu dinamis memang membawa perubahan tertentu pada diri masing-masing orang, dan itu wajar. Perubahan adalah sesuatu yang pasti terjadi. Tinggal bagaimana kita ‘nyemplung’ di dalam perubahan tersebut.

Perubahan-perubahan inilah yang kerap tidak disadari oleh beberapa lingkar pertemanan. Terus menerus membahas mengenai ‘kejayaan’ masa lalu tongkrongan pada akhirnya hanya berbuah kebosanan bagiku sebab hidup dialami oleh orang-orang secara berbeda. Ada orang yang berjuang untuk sesuap nasi, ada juga orang yang berjuang untuk sesendok berlian. Dan tidak ada yang salah dengan itu. Yang salah adalah ketika kita semua memaksakan bagaimana kondisi kita dialami oleh orang lain juga. Maka jika masih ada tongkrongan-tongkrongan yang tiap hari berkumpul dan hanya membahas mengenai ‘kejayaan’ masa lalu terus menerus, tinggalin aja. Karena aku yakin dirimu tidak akan tumbuh. Ya kamu cuma hanya berkutat pada kisah-kisah nostalgik yang dibuat untuk membuai dirimu. Healing pun tidak. Yang ada hanya lari dari kenyataan dan balik ke simple past tense. Membayangkan sesuatu yang sudah terjadi dan rasa-rasanya emosi yang membuncah hanya keluar sesaat. Setelahnya bosan dan kekosongan akan lebih mendominasi (menurut pengalamanku lho ini. Kalo kamu mengalami hal yang lain, ya silakan).

Maka pada akhirnya mungkin memilih teman memang tidak apa-apa. Toh, secara natural, kita semua akan berkumpul dengan orang-orang yang memiliki visi dan misi yang sama. Teman-teman yang menghilang begitu saja adalah hal yang harusnya lumrah sebab tidak semua orang harus berada dalam satu tongkrongan terus menerus sepanjang hayatnya. Kita semua berhak untuk mendapatkan lingkaran pertemanan yang baru dan berhak juga untuk mempertahankan lingkaran pertemanan yang nyaman. Ya kan? Jadi ngapain kita bersusah payah untuk memakai topeng untuk masuk ke dalam satu lingkaran pertemanan yang tidak kita inginkan (bahkan kadang tidak kita butuhkan)?

Kasus Novia Widyasari dalam pusaran wacana:kemajuan atau kemunduran?

Membicarakan mengenai kasus-kasus kekerasan seksual akhir-akhir ini menjadi sangat menarik ketika kita meletakkannya pada kerangka analisa wacana Lacanian. Mengapa menjadi sangat menarik? Sebab membicarakan fenomena naiknya kasus-kasus kekerasan seksual ini seperti membaca wacana yang kita konsumsi. Analisa wacana lacanian memungkinkan kita untuk dapat melihat lebih jauh lagi mengenai bagaimana wacana-wacana yang ada, baik di sosial media ataupun media-media konvensional, justru tidak berujung pada lahirnya ‘ideologi’ baru mengenai bagaimana kekerasan seksual ditangani. Wacana-wacana yang bertebaran ini pada akhirnya hanya mempertebal dinding birokrasi yang ada selama ini. Wacana-wacana yang terlihat ‘histeris’ ini bisa jadi ujung-ujungnya hanya menjadi semacam ‘obrolan kosong’ yang tidak mengubah satu noktah pun. Ia akan terus berkutat pada ‘histeria’ daripada melahirkan ‘penanda tuan’ yang baru. Ini berarti tidak akan ada perubahan besar yang akan terjadi di dalamnya. Dibalik histeria itu, ada sebuah Mob mentality atau mental ‘merusuh’ yang memang sengaja dipelihara supaya masyarakat berada dalam wacana universitas dimana mereka akan selalu terbelah dan tidak pernah bertemu dengan ‘analis’nya.

            Untuk yang belum mengenal Lacan, secara sederhana saya berikan hipotesa saya di awal. Bisa jadi munculnya kasus-kasus kekerasan seksual ini hanya sebuah bentuk mob mentality yang menjadi sebuah konsekuensi dari tereksposnya kasus-kasus kekerasan seksual yang ada di masyarakat. Ini hanya sebuah histeria massa yang pada akhirnya pasti akan ditunggangi oleh kelompok tertentu yang diuntungkan baik secara ekonomi atau politik. Bukankah ketika demonstrasi besar-besaran menentang revisi KUHP beberapa tahun yang lalu juga mengusung agenda pengesahan RUU PKS? Saya sedikit pesimis dalam melihat fenomena ini, sebab kita semua tahu bahwa ‘penyakit’ negara ini adalah birokrasinya. Kita selalu berkutat pada pikiran untuk mengganti sistem tandanya (dalam wacana lacanian disimbolkan dengan S2) tanpa mau berusaha untuk mengganti penanda tuan yang ada di dalam sistemnya. Dengan demikian, apapun sistem yang diganti tidak akan membawa perubahan yang berarti selama ‘tuan’ yang sama masih berkuasa di dalamnya. Ini baru hipotesa saya.

Kasus Novia sebagai Notifikasi

            Perkara kekerasan seksual, saya yakin kita sepaham bahwa itu adalah perbuatan yang patut dihukum sebab telah merusak banyak hal dalam kehidupan manusia. Orang-orang yang melakukan tindak kekerasan seksual juga memang seharusnya dihukum. Namun pertanyaan yang ingin saya lontarkan kali ini jauh melampaui kejadian kekerasan seksualnya. Bagaimana gulir wacana kekerasan seksual mampu membuat perubahan yang lebih baik. Kita semua paham bahwa wacana adalah produk dari masyarakat sebagai konsekuensi yang dihasilkan dari hubungan sosial masyarakat. Kekerasan seksual memang harus dihindari namun pertanyaan yang lebih jauh lagi adalah sejauh mana masyarakat kita mampu menggeser wacana yang ada dengan wacana yang lebih baru. Persoalannya sederhana, wacana yang begitu gaduh di berbagai media akhir-akhir ini apakah mampu menggeser ideologi patriarki yang bercokol jauh di dalam masyarakat.

            Kasus-kasus kekerasan seksual yang terangkat dan terekspos publik akhir-akhir ini menjadi gejala yang patut untuk dilihat lebih dalam. Kita patut berterimakasih pada pihak-pihak yang mengangkat kasus-kasus kekerasan seksual diangkat ke publik. Ini bekerja seperti notifikasi di dalam ponsel pintar yang mampu menyedot perhatian kita untuk sejenak. Hal ini baik sebab menjadikan kekerasan seksual menjadi ‘masalah’ yang cukup berarti bagi masyarakat yang terkadang perlu ‘dicolek’. Kesadaran masyarakat akan kekerasan seksual meningkat pada akhirnya dan kasus-kasus lain pada akhirnya juga terekspos ke publik. Tetapi saya pikir tujuan akhirnya tidak hanya meningkatkan kesadaran masyarakat akan kekerasan seksualnya. Tujuan akhirnya adalah memberikan ruang aman bagi siapapun dari kekerasan seksual.

            Kasus yang paling menarik perhatian publik adalah kasus kekerasan yang dialami oleh Novia Widyasari. Novia diberi obat tidur oleh kekasihnya yang lantas memperkosanya. Novia bahkan dipaksa untuk menggugurkan kandungannya oleh kekasihnya, Randy. Kasus Novia Widyasari terangkat ke publik juga sebagai hasil dari viralnya di sosial media, twitter. Kasus ini juga melibatkan Bripda Randy sebagai tersangka yang melakukan kekerasan seksual terhadap Novia Widyasari. Novia pada akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya setelah putus asa menghadapi hidupnya.  Kasus Novia ini menarik untuk dijadikan salah satu bagaimana masyarakat membicarakan mengenai kekerasan seksual. Ada beberapa wacana di dalam pusaran kasus Novia Widyasari.

            Pandangan bahwa perempuan menjadi korban karena cara berpakaian mereka yang ‘mengundang’ nafsu birahi adalah salah satu wacana yang cukup sering muncul dalam setiap kasus kekerasan seksual. Namun dalam kasus Novia, wacana ini justru dapat digeser karena adanya realita dan fakta bahwa Novia menjadi korban kekerasan seksual terlepas dari cara berpakaiannya. Bahkan, ada unsur paksaan yang dilakukan oleh Bripda Rendy sebagai tersangka utama dalam kasus ini. Pergeseran wacana inilah yang menarik untuk dilihat lebih lanjut sebab pada kasus-kasus sebelumnya, wacana ini selalu menjadi ‘lawan’ yang setara pada wacana tandingan lain. Namun dalam kasus Novia, wacana ‘kekerasan seksual yang disebabkan oleh cara berpakaian’ mampu digeserkan sebab adanya realitas yang sungguh berbeda. Pada akhirnya kasus ini mampu menjadi lampu ‘peringatan’ bagi masyarakat (baik warga serta pemerintahannya).

            Ketika kita mencoba untuk melihat struktur yang ada di dalam kasus Novia, kita justru mendapatkan beberapa dugaan. Yang pertama adalah bagaimana masyarakat sebenarnya juga menyimpan ‘dendam’ yang cukup dalam sebagai akibat permainan kata ‘oknum’ yang dilakukan oleh Lembaga Pemerintahan untuk menghindarkan dirinya dari kesalahan yang ia lakukan. Dugaan ini terlihat lewat pernyataan-pernyataan yang ada di dalam sosial media mengenai bagaimana Bripda Randy mendapatkan hate speech yang cukup banyak. ‘Dendam’ ini cukup brutal sehingga warganet juga turut menyerang Bripda Randy secara personal (ad hominem). Hasrat masyarakat yang tersalurkan melalui  kasus Novia Nampak seperti orgasme yang tertahan lama. Sebelumnya juga terdapat rentetan kasus yang dilakukan oleh anggota kepolisian namun berujung gagal untuk menembus lapisan wacana ‘oknum’. Nampaknya lapisan wacana ‘oknum’ menjadi obat yang selalu mujarab dalam menghadapi kegagalan sistem yang tidak pernah mendapat evaluasi yang berarti. Kebetulan dalam kasus Novia, nampaknya wacana ‘oknum’ sudah tidak mampu menahan laju deras hasrat masyarakat yang ingin mengatakan bahwa Lembaga kepolisian tidak mampu dipercaya. Hingga akhirnya, bersamaan dengan kasus Novia, turut juga viral tagar #percumalaporpolisi.

            Kasus Novia ini menjadi semacam notifikasi dalam ‘ponsel pintar’ masyarakat kita. Dengan kegaduhan yang terjadi di sosial media, ini sebenarnya adalah sebuah kesempatan untuk melakukan perubahan lebih lanjut. Namun pertanyaannya adalah seberapa jauh wacana-wacana yang digulirkan di dalam masyarakat ini mampu menghadirkan ruang-ruang aman di dalam masyarakat? Ruang-ruang aman ini justru akan hadir ketika pemerintah mampu menghadirkan sistem perlindungan yang cukup komprehensif dalam menjamin warga negaranya dari kekerasan seksual.

Ramai Lalu Hening

            Apa yang menjadi permasalahan utama yang ingin saya garis bawahi dalam tulisan kali ini adalah bagaimana masyarakat kita terlalu mudah untuk lupa dengan segala kegaduhan lama dan sangat cepat beralih menuju ke kegaduhan yang baru. Ketika bulan Desember tiba, kasus Novia Widyasari tiba-tiba hening. Semua seakan setuju bahwa dengan penangkapan Randy serta pemberhentian dengan tidak hormat dari anggota kepolisian seakan menjadi solusi akan kegaduhan wacana kekerasan seksual yang digulirkan di sosial media. Faktanya, kasus-kasus kekerasan seksual berlanjut. Pelaku-pelaku kekerasan seksual lain masih juga bermunculan, walau mungkin tidak segaduh kasus Novia Widyasari. Kasus yang terjadi di Bandung, Cibiru menjadi notifikasi baru. Bagaimana seorang guru, yang ternyata juga seorang pemilik Yayasan pondok pesantren, menghamili 21 orang santriwati.

            Kegaduhan dimulai lagi. Begitu seterusnya. Dari kasus ke kasus. Ramai sebentar lalu hening kemudian. Tidak ada yang berubah di negara ini. Kasus demi kasus, yang ternyata banyak pelakunya adalah pemegang kekuasaan, bermunculan dan tak pernah usai. Seakan tidak ada tindak lebih lanjut untuk mencegah kekerasan seksual, semua hilang sunyi ketika histeria massa bergeser menuju kegaduhan yang baru.

            Apa yang sebenarnya dilakukan oleh influencer, sosial media, serta media-media konvensional justru berperan penting untuk memberikan ‘obat’ agar wacana-wacana ini tidak hanya berputar-putar di tempat yang sama. Gaduh lalu hening tanpa terbentuknya ruang-ruang aman yang baru, tanpa ada jaminan perlindungan kekerasan seksual. Jika hal ini tidak segera disadari oleh pihak-pihak yang berkuasa dalam media, kita tidak akan pernah menuju ke dalam ruang aman yang baru. Kita hanya terus menerus gaduh di tempat yang sama tanpa perubahan sedikit pun.

            Lihat saja bagaimana RUU PKS (Rancangan Undang-Undan Pencegahan Kekerasan Seksual) tidak pernah mendapat kesempatan untuk dibahas dalam rapat-rapat anggota DPR. Suara-suara Novia atau puluhan santriwati itu hanya gaduh di luar pagar DPR dan tidak mampu masuk ke dalam ruang-ruang rapat anggota DPR. Kasus demi kasus terus terjadi tetapi RUU PKS belum pernah mendapatkan kesempatan untuk dibahas dalam rapat anggota DPR.

            Agak beruntung ketika Nadiem Makarim mengatakan bahwa ia menjamin ruang-ruang aman di dalam institusi Pendidikan. Ia mengeluarkan permendikbudristek nomor 30 tahun 2021 mengenai pencegahan kekerasan seksual. Setidaknya institusi pendidikan mampu memberikan jaminan lebih awal untuk memberikan ruang-ruang aman dengan diawali oleh permendikbudristek ini. Langkah awal yang cukup baik untuk memberikan ruang-ruang aman di tempat lain dari kekerasan seksual.

            Tetapi ada yang lebih penting untuk ditindaklanjuti di dalam dunia Pendidikan. Bagaimana wacana kekerasan seksual harus masuk dalam kurikulum untuk dibahas dan didiskusikan sebab mob mentality justru tidak memberikan perubahan yang berarti. Sekolah-sekolah harusnya memberikan alat-alat agar subjek-subjek dalam masyarakat mampu memiliki daya kritis dalam mengkonsumsi tiap wacana yang ada. Ketika setiap subjek mampu memberikan daya kritisnya terhadap wacana, maka akan ada titik celah untuk melakukan perubahan yang lebih baik. Tanpa adanya daya kritis yang harusnya ditumbuhkan di dalam sekolah, masyarakat kita akan selalu ramai dan gaduh lalu hening tanpa ada perubahan yang berarti.

            Kasus Novia, saya yakin adalah awal yang baik untuk memulai sebab ia mampu mengguncang sosial media. Namun sekali lagi pertanyaannya adalah sejauh mana wacana ini mampu bergulir? Ataukah ia akan digeser dengan kegaduhan baru yang mungkin lebih menguntungkan bagi beberapa pihak?