Membicarakan mengenai kasus-kasus kekerasan seksual akhir-akhir ini menjadi sangat menarik ketika kita meletakkannya pada kerangka analisa wacana Lacanian. Mengapa menjadi sangat menarik? Sebab membicarakan fenomena naiknya kasus-kasus kekerasan seksual ini seperti membaca wacana yang kita konsumsi. Analisa wacana lacanian memungkinkan kita untuk dapat melihat lebih jauh lagi mengenai bagaimana wacana-wacana yang ada, baik di sosial media ataupun media-media konvensional, justru tidak berujung pada lahirnya ‘ideologi’ baru mengenai bagaimana kekerasan seksual ditangani. Wacana-wacana yang bertebaran ini pada akhirnya hanya mempertebal dinding birokrasi yang ada selama ini. Wacana-wacana yang terlihat ‘histeris’ ini bisa jadi ujung-ujungnya hanya menjadi semacam ‘obrolan kosong’ yang tidak mengubah satu noktah pun. Ia akan terus berkutat pada ‘histeria’ daripada melahirkan ‘penanda tuan’ yang baru. Ini berarti tidak akan ada perubahan besar yang akan terjadi di dalamnya. Dibalik histeria itu, ada sebuah Mob mentality atau mental ‘merusuh’ yang memang sengaja dipelihara supaya masyarakat berada dalam wacana universitas dimana mereka akan selalu terbelah dan tidak pernah bertemu dengan ‘analis’nya.
Untuk yang belum mengenal Lacan, secara sederhana saya berikan hipotesa saya di awal. Bisa jadi munculnya kasus-kasus kekerasan seksual ini hanya sebuah bentuk mob mentality yang menjadi sebuah konsekuensi dari tereksposnya kasus-kasus kekerasan seksual yang ada di masyarakat. Ini hanya sebuah histeria massa yang pada akhirnya pasti akan ditunggangi oleh kelompok tertentu yang diuntungkan baik secara ekonomi atau politik. Bukankah ketika demonstrasi besar-besaran menentang revisi KUHP beberapa tahun yang lalu juga mengusung agenda pengesahan RUU PKS? Saya sedikit pesimis dalam melihat fenomena ini, sebab kita semua tahu bahwa ‘penyakit’ negara ini adalah birokrasinya. Kita selalu berkutat pada pikiran untuk mengganti sistem tandanya (dalam wacana lacanian disimbolkan dengan S2) tanpa mau berusaha untuk mengganti penanda tuan yang ada di dalam sistemnya. Dengan demikian, apapun sistem yang diganti tidak akan membawa perubahan yang berarti selama ‘tuan’ yang sama masih berkuasa di dalamnya. Ini baru hipotesa saya.
Kasus Novia sebagai Notifikasi
Perkara kekerasan seksual, saya yakin kita sepaham bahwa itu adalah perbuatan yang patut dihukum sebab telah merusak banyak hal dalam kehidupan manusia. Orang-orang yang melakukan tindak kekerasan seksual juga memang seharusnya dihukum. Namun pertanyaan yang ingin saya lontarkan kali ini jauh melampaui kejadian kekerasan seksualnya. Bagaimana gulir wacana kekerasan seksual mampu membuat perubahan yang lebih baik. Kita semua paham bahwa wacana adalah produk dari masyarakat sebagai konsekuensi yang dihasilkan dari hubungan sosial masyarakat. Kekerasan seksual memang harus dihindari namun pertanyaan yang lebih jauh lagi adalah sejauh mana masyarakat kita mampu menggeser wacana yang ada dengan wacana yang lebih baru. Persoalannya sederhana, wacana yang begitu gaduh di berbagai media akhir-akhir ini apakah mampu menggeser ideologi patriarki yang bercokol jauh di dalam masyarakat.
Kasus-kasus kekerasan seksual yang terangkat dan terekspos publik akhir-akhir ini menjadi gejala yang patut untuk dilihat lebih dalam. Kita patut berterimakasih pada pihak-pihak yang mengangkat kasus-kasus kekerasan seksual diangkat ke publik. Ini bekerja seperti notifikasi di dalam ponsel pintar yang mampu menyedot perhatian kita untuk sejenak. Hal ini baik sebab menjadikan kekerasan seksual menjadi ‘masalah’ yang cukup berarti bagi masyarakat yang terkadang perlu ‘dicolek’. Kesadaran masyarakat akan kekerasan seksual meningkat pada akhirnya dan kasus-kasus lain pada akhirnya juga terekspos ke publik. Tetapi saya pikir tujuan akhirnya tidak hanya meningkatkan kesadaran masyarakat akan kekerasan seksualnya. Tujuan akhirnya adalah memberikan ruang aman bagi siapapun dari kekerasan seksual.
Kasus yang paling menarik perhatian publik adalah kasus kekerasan yang dialami oleh Novia Widyasari. Novia diberi obat tidur oleh kekasihnya yang lantas memperkosanya. Novia bahkan dipaksa untuk menggugurkan kandungannya oleh kekasihnya, Randy. Kasus Novia Widyasari terangkat ke publik juga sebagai hasil dari viralnya di sosial media, twitter. Kasus ini juga melibatkan Bripda Randy sebagai tersangka yang melakukan kekerasan seksual terhadap Novia Widyasari. Novia pada akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya setelah putus asa menghadapi hidupnya. Kasus Novia ini menarik untuk dijadikan salah satu bagaimana masyarakat membicarakan mengenai kekerasan seksual. Ada beberapa wacana di dalam pusaran kasus Novia Widyasari.
Pandangan bahwa perempuan menjadi korban karena cara berpakaian mereka yang ‘mengundang’ nafsu birahi adalah salah satu wacana yang cukup sering muncul dalam setiap kasus kekerasan seksual. Namun dalam kasus Novia, wacana ini justru dapat digeser karena adanya realita dan fakta bahwa Novia menjadi korban kekerasan seksual terlepas dari cara berpakaiannya. Bahkan, ada unsur paksaan yang dilakukan oleh Bripda Rendy sebagai tersangka utama dalam kasus ini. Pergeseran wacana inilah yang menarik untuk dilihat lebih lanjut sebab pada kasus-kasus sebelumnya, wacana ini selalu menjadi ‘lawan’ yang setara pada wacana tandingan lain. Namun dalam kasus Novia, wacana ‘kekerasan seksual yang disebabkan oleh cara berpakaian’ mampu digeserkan sebab adanya realitas yang sungguh berbeda. Pada akhirnya kasus ini mampu menjadi lampu ‘peringatan’ bagi masyarakat (baik warga serta pemerintahannya).
Ketika kita mencoba untuk melihat struktur yang ada di dalam kasus Novia, kita justru mendapatkan beberapa dugaan. Yang pertama adalah bagaimana masyarakat sebenarnya juga menyimpan ‘dendam’ yang cukup dalam sebagai akibat permainan kata ‘oknum’ yang dilakukan oleh Lembaga Pemerintahan untuk menghindarkan dirinya dari kesalahan yang ia lakukan. Dugaan ini terlihat lewat pernyataan-pernyataan yang ada di dalam sosial media mengenai bagaimana Bripda Randy mendapatkan hate speech yang cukup banyak. ‘Dendam’ ini cukup brutal sehingga warganet juga turut menyerang Bripda Randy secara personal (ad hominem). Hasrat masyarakat yang tersalurkan melalui kasus Novia Nampak seperti orgasme yang tertahan lama. Sebelumnya juga terdapat rentetan kasus yang dilakukan oleh anggota kepolisian namun berujung gagal untuk menembus lapisan wacana ‘oknum’. Nampaknya lapisan wacana ‘oknum’ menjadi obat yang selalu mujarab dalam menghadapi kegagalan sistem yang tidak pernah mendapat evaluasi yang berarti. Kebetulan dalam kasus Novia, nampaknya wacana ‘oknum’ sudah tidak mampu menahan laju deras hasrat masyarakat yang ingin mengatakan bahwa Lembaga kepolisian tidak mampu dipercaya. Hingga akhirnya, bersamaan dengan kasus Novia, turut juga viral tagar #percumalaporpolisi.
Kasus Novia ini menjadi semacam notifikasi dalam ‘ponsel pintar’ masyarakat kita. Dengan kegaduhan yang terjadi di sosial media, ini sebenarnya adalah sebuah kesempatan untuk melakukan perubahan lebih lanjut. Namun pertanyaannya adalah seberapa jauh wacana-wacana yang digulirkan di dalam masyarakat ini mampu menghadirkan ruang-ruang aman di dalam masyarakat? Ruang-ruang aman ini justru akan hadir ketika pemerintah mampu menghadirkan sistem perlindungan yang cukup komprehensif dalam menjamin warga negaranya dari kekerasan seksual.
Ramai Lalu Hening
Apa yang menjadi permasalahan utama yang ingin saya garis bawahi dalam tulisan kali ini adalah bagaimana masyarakat kita terlalu mudah untuk lupa dengan segala kegaduhan lama dan sangat cepat beralih menuju ke kegaduhan yang baru. Ketika bulan Desember tiba, kasus Novia Widyasari tiba-tiba hening. Semua seakan setuju bahwa dengan penangkapan Randy serta pemberhentian dengan tidak hormat dari anggota kepolisian seakan menjadi solusi akan kegaduhan wacana kekerasan seksual yang digulirkan di sosial media. Faktanya, kasus-kasus kekerasan seksual berlanjut. Pelaku-pelaku kekerasan seksual lain masih juga bermunculan, walau mungkin tidak segaduh kasus Novia Widyasari. Kasus yang terjadi di Bandung, Cibiru menjadi notifikasi baru. Bagaimana seorang guru, yang ternyata juga seorang pemilik Yayasan pondok pesantren, menghamili 21 orang santriwati.
Kegaduhan dimulai lagi. Begitu seterusnya. Dari kasus ke kasus. Ramai sebentar lalu hening kemudian. Tidak ada yang berubah di negara ini. Kasus demi kasus, yang ternyata banyak pelakunya adalah pemegang kekuasaan, bermunculan dan tak pernah usai. Seakan tidak ada tindak lebih lanjut untuk mencegah kekerasan seksual, semua hilang sunyi ketika histeria massa bergeser menuju kegaduhan yang baru.
Apa yang sebenarnya dilakukan oleh influencer, sosial media, serta media-media konvensional justru berperan penting untuk memberikan ‘obat’ agar wacana-wacana ini tidak hanya berputar-putar di tempat yang sama. Gaduh lalu hening tanpa terbentuknya ruang-ruang aman yang baru, tanpa ada jaminan perlindungan kekerasan seksual. Jika hal ini tidak segera disadari oleh pihak-pihak yang berkuasa dalam media, kita tidak akan pernah menuju ke dalam ruang aman yang baru. Kita hanya terus menerus gaduh di tempat yang sama tanpa perubahan sedikit pun.
Lihat saja bagaimana RUU PKS (Rancangan Undang-Undan Pencegahan Kekerasan Seksual) tidak pernah mendapat kesempatan untuk dibahas dalam rapat-rapat anggota DPR. Suara-suara Novia atau puluhan santriwati itu hanya gaduh di luar pagar DPR dan tidak mampu masuk ke dalam ruang-ruang rapat anggota DPR. Kasus demi kasus terus terjadi tetapi RUU PKS belum pernah mendapatkan kesempatan untuk dibahas dalam rapat anggota DPR.
Agak beruntung ketika Nadiem Makarim mengatakan bahwa ia menjamin ruang-ruang aman di dalam institusi Pendidikan. Ia mengeluarkan permendikbudristek nomor 30 tahun 2021 mengenai pencegahan kekerasan seksual. Setidaknya institusi pendidikan mampu memberikan jaminan lebih awal untuk memberikan ruang-ruang aman dengan diawali oleh permendikbudristek ini. Langkah awal yang cukup baik untuk memberikan ruang-ruang aman di tempat lain dari kekerasan seksual.
Tetapi ada yang lebih penting untuk ditindaklanjuti di dalam dunia Pendidikan. Bagaimana wacana kekerasan seksual harus masuk dalam kurikulum untuk dibahas dan didiskusikan sebab mob mentality justru tidak memberikan perubahan yang berarti. Sekolah-sekolah harusnya memberikan alat-alat agar subjek-subjek dalam masyarakat mampu memiliki daya kritis dalam mengkonsumsi tiap wacana yang ada. Ketika setiap subjek mampu memberikan daya kritisnya terhadap wacana, maka akan ada titik celah untuk melakukan perubahan yang lebih baik. Tanpa adanya daya kritis yang harusnya ditumbuhkan di dalam sekolah, masyarakat kita akan selalu ramai dan gaduh lalu hening tanpa ada perubahan yang berarti.
Kasus Novia, saya yakin adalah awal yang baik untuk memulai sebab ia mampu mengguncang sosial media. Namun sekali lagi pertanyaannya adalah sejauh mana wacana ini mampu bergulir? Ataukah ia akan digeser dengan kegaduhan baru yang mungkin lebih menguntungkan bagi beberapa pihak?