Linearitas

Yang tak pernah dipahami oleh para mahasiswa termasuk saya adalah mengapa mitos linearitas untuk mengambil jurusan ataupun program studi begitu penting untuk dipertanyakan dan dilihat. Pernah saya tanyakan di dalam sebuah forum di mana para akademisi berkumpul dan berdiskusi. Yang saya gusarkan adalah mengapa kita masih saja terkungkung di dalam sebuah mitos yang mengharuskan setiap insan yang belajar dari SMA hingga pendidikan tinggi harus mengikuti sebuah jalur yang “linear”. Namun pada saat itu, saya justru dihadapkan pada pilihan hidup menjadi PNS. Sontak, dalam hati saya tertawa atas respon yang sungguh tidak terduga ini. Katanya, ada banyak pilihan pekerjaan yang non-PNS. Lha? Saya kira di beberapa kantor ataupun LSM, kadang juga mengutamakan orang-orang dengan latarbelakang studi yang linear. Yang segaris. Lurus.

Pengalaman yang saya alami selama ini adalah bagaimana orang selalu saja mempertanyakan saya mengambil s2 apa. Saya bingung untuk menjawab pertanyaan ini. Karena apa yang saya pelajari, saya tekuni, adalah sesuatu yang abstrak. Sedang ketika saya mengatakan saya sedang belajar kajian budaya, semua orang yang awam akan mengatakan bahwa saya sedang belajar budaya-budaya seperti tari-tarian, teatrikal, lukisan ataupun bentuk seni yang lain. Padahal, saya sedang belajar dan berusaha untuk membongkar kebudayaan yang sering dipandang adiluhung, mulia dan priceless itu! Belum lagi terbentuknya gap ketika hati ingin berdiskusi dengan orang-orang pendidikan. Nampaknya, kebudayaan dan pendidikan berada dalam ranah yang berbeda. Orang pendidikan selalu saja mencitrakan diri kaku, normatif dan sangat tidak terbuka. Sedang orang “kebudayaan” dicitrakan fleksibel, urakan, pemberontak dan miskin. Padahal, kebudayaan dan pendidikan adalah hal yang sering berkelindan dalam kehidupan nyata. Sekolah ada, salah satunya adalah untuk menyokong hal-hal repetitif yang ada di dalam masyarakat. Hal repetitif ini biasa kita sebut sebagai “budaya”. Dan sekali lagi, sekolah memang membantu masyarakat untuk menyiapkan subyek-subyek baru untuk masuk dalam masyarakat dan “budaya”-nya.

Yang tidak orang sadari adalah bagaimana sebenarnya pengaruh linearitas ilmu ini justru mempersempit identitas manusianya yang saya kira lebih kompleks dari sekadar urusan linearitas. Sebagai contoh saja. Siapa yang mengira bahwa Albert Einstein juga gusar mengenai kondisi manusia yang lebih senang berperang daripada berdamai? Ia pernah menanyakan hal tersebut kepada seorang psikoanalis, Sigmund Freud. Saya rasa ini adalah sebuah langkah Albert sendiri untuk melangkah menuju “bidang” yang lain. Saya rasa beberapa negara sudah melakukan “perkawinan” ilmu ini. Psikoanalisa Lacanian adalah hasil “perkawinan” antara  linguistik (semiotika), matematika dan psikologi. Di luar pun sudah melangkah ke arah bioteknologi, bagaimana di dalam ruang akademis juga dimungkinkan terbentuknya ruang-ruang yang dialektis antar ilmu itu sendiri.

Namun di Indonesia masih berada dalam tahap linearitas dimana ilmu yang terdahulu menjadi dasaran untuk mengambil ilmu yang selanjutnya. Mitos mengenai bagaimana orang harus belajar dan mengambil ilmu yang linear adalah sebuah kemutlakan. Saya sendiri sering dipertanyakan mengapa tidak mengambil kajian bahasa inggris. Semuanya semata-mata hanya demi masa depan ekonomi yang menurut saya, justru di dalam ekonomi sendiri pun, itu tidak linear. Ketika beberapa hari lalu, saya membuat story di Instagram mengenai linearitas di akademis, banyak juga ternyata kawan-kawan saya yang mengeluh mengenai linearitas ini. Bagaimana bisa ilmu berkembang jika hari ini kita tetap saja masih menganggap ilmu fisika hanya untuk fisika dan matematika hanya sekadar menghitung angka?

Sebenarnya, Linearitas memang dibutuhkan untuk membentuk kepakaran dimana orang akan berfokus hanya pada satu bidang saja. Sehingga mereka dapat meneliti dan mengembangkan bidang ilmu mereka masing-masing dengan cepat. Tetapi pada kenyataannya, linearitas di Indonesia itu sendiri malah jadi boomerang yang berbalik memperlambat gerak laju penelitian di Indonesia. Sebagai contoh, bagaimana bisa fenomena klitih yang saya teliti hanya bisa dilihat dari sisi penegakan hukumnya saja, padahal perspektif hukum sangat terbatas pada aturan-aturan tanpa melihat sisi lain dari fenomena tersebut. Tetap dibutuhkan sebuah kolaborasi antar bidang supaya mampu melihat fenomena dengan lebih baik. Toh, mas menteri sekarang juga bukan dari ilmu pendidikan. Ia lebih kuat dengan latar belakang ilmu ekonominya ketimbang ilmu pedagoginya. Toh sah-sah saja mas menteri ini diangkat untuk mengurusi pendidikan Indonesia yang sekarang entah arahnya mau kemana. Lantas mengapa orang-orang yang membantu mas menteri pendidikan ini harus linear? Sedang yang kita bantu pun tidak linear. Untuk menjadi dosen juga perlu linearitas, tetapi apa yang ia ajarkan belum tentu harus tetap “kekeuh” di bidangnya saja. Dosen ekonomi boleh-boleh saja menjelaskan perspektifnya dan mendapat mata kuliah di fakultas teknik misalnya. Karena persoalan ekonomi juga bersinggungan langsung dengan orang-orang teknik begitu pula sebaliknya.

Jadi menurut saya, ada baiknya juga kita sedikit melonggarkan linearitas ini. Tetapi juga tetap menghargai kepakaran sehingga iklim penelitian mampu berkembang lebih baik lagi. Toh, hidup itu juga bukan berjalan di atas garis yang linear. Kadang Spiral, kadang zig-zag, ataupun kadang circular. hahaha

Tinggalkan komentar