NGEPET!

Fenomena babi ngepet yang terjadi di Depok dalam kacamata saya adalah sebuah gejala bagaimana sebenarnya masyarakat kita sekarang ini sedang dilanda krisis logika. Orang Indonesia memang cenderung lebih percaya dengan “mistis” dan hal-hal yang mungkin di dunia barat disebut dengan dunia “metafisika” (di balik fisik yang dapat diinderakan). Krisis logika ini sebenarnya bukan sebuah hal yang baru karena sejatinya kita tidak pernah diberikan kesempatan sedikitpun untuk mempertanyakan bagaimana logika kita ini bekerja. Ini justru yang menggelisahkan, menggelikan dan membuat saya mengrenyitkan dahi.

Para warga net (lagi-lagi netizen) dengan impulsif dan kejinya langsung berbondong-bondong menghina seorang ibu yang menuduh tetangganya menjadi babi ngepet. Mereka menganggap bahwa si ibu miskin logika, tidak berpikir secara modern. Hal yang lebih lucu lagi adalah bagaimana media-media di Indonesia malah semakin melayani kebutuhan ini dengan menayangkannya dalam berbagai pemberitaan. Bukankah ini berarti media juga turut melegitimasi dan melancarkan “nafsu” orang Indonesia untuk semakin percaya pada hal-hal demikian? Kolom-kolom berita seketika berubah menjadi bahasan mengenai babi ngepet, mencibir bagaimana orang-orang tersebut miskin secara logika. Tetapi ada satu hal yang tidak mereka pernah bahas, yaitu mengenai bagaimana rezim pengetahuan di negeri ini juga turut memberikan sumbangsih yang benar-benar nyata terhadap tumbuh suburnya “babi ngepet” di kelas-kelas.

Saya selalu mempercayai bahwa tidak ada satupun di bawah matahari yang benar-benar muncul dari ketiadaan, termasuk ibu-ibu yang mempercayai bahwa tetangganya adalah seekor babi ngepet. Jika dilihat secara lebih luas lagi mengenai bagaimana orang-orang ini dapat muncul di dalam sosial media, kita juga dapat melihat bagaimana peran media-media di Indonesia mengangkat isu-isu seperti ini. Alih-alih mengangkat mengenai kasus wadas di Purworejo yang secara nyata justru merugikan masyarakat, mereka malah dengan senang hati mengangkat kasus babi ngepet. Keputusan media-media untuk selalu membuat bingkai bahwa Indonesia ini miskin logika, juga patut dipertanyakan lebih lanjut. Apakah media-media ini juga pada akhirnya ingin menguasai rezim pengetahuan kita dengan merebut ruang pikir kita semua dengan membombardir kita dengan berita-berita semacam ini? Francis Bacon pernah memberikan kita sebuah kalimat yang sangat menarik, bahwa pengetahuan itu adalah kekuatan. Siapa yang mengetahui adalah mereka yang kuat dan menguasai. Sisanya adalah orang-orang yang ikut dalam “sudut pandang” yang sudah ditentukan.

Rezim pengetahuan yang berikutnya adalah negara dengan perpanjangan tangannya yang paling konkret adalah sekolah. Bagaimana secara pelan tapi pasti, negara (tentu dengan legalitasnya), menguasai apa yang boleh diketahui dan apa yang tidak boleh diketahui. Mirisnya, Indonesia benar-benar mengatur orang-orang Indonesia untuk lebih banyak mengetahui mengenai apa agamamu daripada siapa dirimu. Bahkan yang lebih lucu lagi adalah memasukkan nilai-nilai keagamaan dalam sebuah pola pikir yang benar-benar saintifik! Contoh paling nyata adalah bagaimana di dalam Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, dimasukkan nilai-nilai seperti ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bukankah mereka seharusnya dibiarkan saja untuk mencari apa yang mereka yakini benar? Syukur jika mereka memang mampu ‘bertemu’ dengan Tuhan di dalam penelitiannya. Tapi jika tidak, ya tidak apa-apa kupikir. Untuk saya, ini adalah sebuah usaha pemerkosaan logika. Sebab ruang-ruang saintifik memang seharusnya dibebaskan dari paham-paham keagamaan. Mereka adalah dua sisi mata uang yang seharusnya punya ruangnya masing-masing. Sains memang membutuhkan agama, tetapi tidak seharusnya ia masuk mengacak-acak metode dan metodologi yang ada di dalamnya! Begitupun dengan agama. Tanpa logika yang jelas, agama hanya sekadar ilusi. Tak ada yang lebih. Maka jelas di sini tidak ada ruang sama sekali untuk subjek-subjek yang sedang duduk dan belajar di institusi pendidikan mana pun untuk berpikir mengenai dirinya sendiri. Padahal, itu adalah hal yang paling terpenting. Di sanalah semuanya bermula! Belum lagi kita selalu dicekoki dengan ideologi ‘Pancasila’ yang terkesan dipaksakan masuk ke dalam kelas-kelas. Baik memang untuk mengenal ideologi negara kita ini, tetapi bukankah untuk mempercayai dan jatuh cinta ke dalamnya membutuhkan proses yang panjang? Proses-proses yang terlalu prematur justru membangkitkan orang-orang yang ‘buta’ dan akhirnya menjadi titik balik untuk menjadi seorang ‘ekstrimis’ (yang sekarang mungkin lebih umum dikenal dengan teroris).

Jadi babi ngepet ini menurutku jelas sebuah gejala yang sangat sangat terlihat bahwa kita semua sedang dikungkung oleh rezim pengetahuan yang tidak membiarkan kita untuk lepas. Imajinasi kita diatur sepenuhnya, logika kita sudah terberi. Lalu pertanyaan berikutnya adalah apakah kita masih menjadi manusia yang seutuhnya jika logika dan imajinasi kita sudah terberi dan ditentukan?